HUKUM TELEMATIKA



Penggunaan Teknologi Informasi Dalam Cyeber Terrorism


Globalisasi terkait erat dengan teknologi, transportasi, perdagangan, dan hal-hal lainnya. Khusus mengenai teknologi, perkembangan di dalamnya memberi dampak yang luar biasa, jika tidak bisa dikatakan menyeluruh, bagi kehidupan sosial dan terkadang politik. Lahirnya internet juga bisa dilihat sebagai bagian dari perkembangan teknologi sebagai dampak globalisasi. Internet seakan-akan memberi segalanya, memudahkan akses ke dunia luar, dan menjadikan posisi setiap orang tak berjarak. Namun, ada satu hal dari internet yang dikhawatirkan bisa mengancam keamanan yaitu cyberterrorism. Ini merupakan bentuk baru dari terorisme yang istilahnya diperkenalkan oleh Barry Collin sejak tahun 1980-an (Tafoya, 2011). Istilah cyberterrorism sendiri baru dimunculkan pada tahun 1997, lagi-lagi oleh Barry Collin (Serge Krasavin, n.d.). Kemunculan istilah itu didahului oleh penyerangan virus-virus ke Iraqi Republican Guard tahun 1991 ketika Operation Desert Storm berlangsung. Akibatnya terjadi kekacauan dan salah sasaran pada sistem peluncur misil Iraq.

Cyberterrorism yang masih terhitung “baru” mulai mengglobal di akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21 dengan bermunculannya berbagai virus yang menyerang komputer-komputer pengguna internet seperti Melissa Virus dan Love Bug. Menyebarnya virus-virus itu tidak terlalu masif dampaknya pada pengguna internet individual, namun sangat mengancam jika terjadi pada situs-situs pemerintah yang menyangkut kepentingan warga sipil. Ini juga sejalan denganThe Center for Strategic dan International Studies yang mendefinisikan cyberterrorism sebagai penggunaan jaringan komputer untuk mematikan infrastruktur pemerintah yang krusial atau bisa juga untuk mengintimidasi pemerintah atau masyarakt sipil. Sedangkan William L. Tafoya (2011) mengemukakan bahwa cyber terrorism merupakan bentuk intimidasi terhadap urusan warga sipil melalui penggunaan teknologi tinggi untuk melancarkan aksi-aksi politik, religi, atau ideologi yang mengakibatkan pada tidak berfungsinya atau hilangnya data infrastruktur kritis dan informasi. Cyberterrorism ini dikatakan berhasil ketika telah mengambil alih kontrol suatu pemerintahan (negara) atau badan lain yang harusnya memegang wewenang atas perihal yang diserang itu. Dampaknya, sistemasi yang diserang menjadi kacau dan dalam beberapa kasus meyebabkan kerugian dalam urusan banyak orang, termasuk juga ekonomi.

Pengglobalan cyber terrorism tidak terlepas dari peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Banyak kasus cyber terrorism yang menyerang pemerintahan dan aspek-aspek lain yang sangat riskan. Lihat saja bagaimana Etnis Tamil pada tahun 1998 “membanjiri” akun surat elektronik beberapa kedutaan dan kantor perwakilan Sri Lanka di mancanegara dengan delapan ratus surat-surat sampah setiap hari selama dua minggu. Peristiwa ini disebut-sebut sebagai cyber terrorism pertama yang menyerang pemerintahan. Satu tahun sebelumnya, pada 1997 masih seputar konflik politik namun tidak secara langsung ditujukan ke pemerintahan.The Electronic Disturbance Theater “menduduki” beberapa domain website untuk menunjukkan dukungannya terhadap The Zapatistas, suatu kelompok pemberontak di Meksiko.

Di balik persitiwa-peristiwa cyberterrorism seperti di atas pastilah ada dalang yang mengendalikan dan mengarahkan ke mana penyerangan akan ditujukan. Suatu waktu individu bisa menjadi pelaku cyber terrorism, seperti teror yang dilakukan seorang bocah Kanada terhadap keluarganya sendiri. Akan tetapi yang lebih umum adalah pelaku-pelaku cyber terrorism merupakan representasi suatu kelompok penekan, baik yang membawa isu-isu politik, agama, ataupun ideologi. Kelompok-kelompok ini menunjukkan “kekuataannya” ataupun menuntut terwujudnya aspirasi mereka melalui teror-teror yang dilakukan. Contoh konkrit yang bisa diambil yaitu yang sempat dialami pemerintah Indonesia pada Agustus 1997. Tampilan dan isi situs resmi Mabes ABRI (sekarang TNI) diubah oleh pelaku dengandomain Portugal dengan opini-opini mengenai pembebasan Timor Timur (Sarah & Gultom, n.d.).

Meskipun cyber terrorism sudah cukup mengglobal, cyber war dikatakan belum benar-benar dimulai. Penyerangan terhadap situs-situs pemerintahan sudah banyak terjadi, namun dalam penampakan yang tidak terbuka. China dan Amerika Serikat sudah memulai “pemanasan” dengan saling tuduh mencuri data rahasia masing-masing. Nantinya bisa saja terjadi penyerangan terbuka dengan teknologi cyber, tidak hanya oleh individu-individu, tetapi juga negara-negara. Ironi yang terjadi dewasa ini adalah bahwa dunia maya telah menjadi pedang bermata dua bagi individu dan negara. Sekarang dunia telah menjadi media penyebaran dan penyimpanan informasi yang populer. Pemerintah dan instansi-instansi berusaha memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses informasi. Data-data pribadi dan instansi kebanyakan disimpan di dunia maya. Ini memberikan ruang bagi para pelaku cyber terrorism untuk melakukan aksinya. Federal Bureau Investigation (FBI) sebagai bagian dari alat pertahanan Amerika Serikat menyatakan bahwa salah satu jalan yang mereka perlukan adalah memperkuat pertahanannya di basis-basis data dan infrastruktur yang ada. Sementara Indonesia juga sedikit bersiap-siap merancang Indonesia cyber defense sebagai tamengnya. Semacam itulah yang akan terjadi beberapa waktu mendatang, negara-negara terus mempersiapkan diri menghadapi serangan-seranga cyber, di sisi lain para ahli cyber siap direkrut sebagai senjata baru mereka.

Dari penjelasan yang telah disampaikan penulis, cyberterrorist yang terjadi akibat dari perkembangan teknologi sangat berkaitan erat dengan globalisasi. Globalisasi yang merupakan proses mendunia “menghantarkan” berbagai produk pengembangan negara – negara maju seperti kemudahan dalam mendapatkan informasi melalui internet ke berbagai negara di dunia. Kemudahan dalam mencari informasi ini sering digunakan oleh oknum – oknum tertentu secara “tidak” semestinya, seperti cyberterrorist yang mulai dikenal pada tahun 1997. Para pelaku kejahatan yang semakin pintar mampu menggunakan peluang ini dengan tidak hanya melakukan kejahatan secara “nyata” tetapi juga secara “maya”. Teroris dengan kemampuan hacking dan cracking tinggi pastinya bukanlah orang sembarangan. Pembobolan terhadap situs pemerintah dengan merusak data – data penting hingga membeberkan rahasia negara secara “mudah” bisa didapatkan. Hal ini mampu berkembang tak luput dari dampak globalisasi pada awal abad ke-20. Menghadapi persoalan tersebut, negara mulai bersiap-siap merancang defense sebagai tamengnya dengan lebih mengembangkan keamanan negara baik secara “nyata” maupun “maya”.

Next
Previous