PERAN FATWA MUI PADA PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Indonesia merupakan Negara yang mayoritas penduduknya menganut agama islam terbesar di dunia. produk - produk yang digunakan seorang muslim  seharusnya adalah produk yang halal . namun dewasa ini banyak pro-kontra mengenai ketentuan produk halal yang seharusnya tertera di dalam produk tersebut. Bagi masyarakat muslim Indonesia pengetahuan tentang halal dan haram mengenai sebuah produk adalah hal yang sangat penting.
Bahaya keamanan pangan yang termasuk kategori berbahaya ”yang haram dan atau yang meragukan” efek yang ditimbulkannya memang tidak tampak sebagimana efek dari cemaran kimia, fisik, dan mikrobiologi yang langsung berimplikasi pada masalah kesehatan. Bahaya atas kategori halal ini berimplikasi pada ketenangan jiwa konsumen muslim dan sekali tercemar maka tidak dapat dielakan efek kerugiannya cukup besar baik financial maupun kepercayaan konsumen terhadap prosuk tersebut.
Masyarakat Indonesia sekitar 90% nya adalah muslim. Karenanya keamanan pangan bagi 90% masyarakat Indonesia harus terpenuhi. sertifikasi halal pada produk makanan yang menjadi konsumsi masyarakat, merupakan salah satu upaya perlindungan pemerintah terhadap masyarakat secara umum.
Perkembangan era globalisasi membawa dampak ke dalam kehidupan manusia yang ada di bumi tercinta ini. Gaya hidup “Modern” dengan kemajuan ilmu dan teknologi apakah telah membawa kita lupa akan nilai-nilai agama yang harus dijaga. Indonesia dengan 90% masyarakat muslim seharusnya menjadi perhatian penting bagi pemerintah dalam membuat kebijakan yang terkait dengan masalah pangan.
Sebagai agama yang diyakini tentu saja hal ini harus tetap menjadi dasar bagi umatnya dalam berperilaku. Salah satunya adalah pola “makan”. Makan adalah hukumnya wajib bagi seluruh manusia, tetapi apakah yang kita makan merupakan hak kita?. Hak adalah yang memang baik dan halal untuk dimakan. Peraturan Pemerintah No.69 tahun 1999 pasal 1 ayat 5 bahwa pangan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan iradiasi pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam.
Bagaimana para produsen menanggapi hal tersebut? Setiap orang yang memproduksi dan mengemasnya untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam dan atau dikemasan pangan dan label tersebut memuat sekurang-kurangnya informasi mengenai (a) nama produk, (b) daftar bahan yang digunakan, (c) berat bersih atau isi bersih (d) nama, dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan pangan kedalam wilayah Indonesia (e) keterangan tentang halal dan tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa, demikian isi dari pasal 30 UU pangan No.7 tahun 1996 tentang label dan iklan pangan. Produk impor kini mulai membanjiri tanah air kita dengan berbagai jenis produk makanan, baik bahan mentah maupun bahan jadi, dengan harga dan kemasan yang menarik.
Masyarakat perlu hati-hati dalam memilih produk tersebut, boleh jadi ada yang tersembunyi dibalik produk makanan tersebut yang tidak laik dikonsumsi. Bagi seorang muslim kesalahan dalam memilih produk yang dikonsumsi dapat berujung pada kerugian lahir dan batin. Produk yang mengandung bahan yang berbahaya akan memberikan dampak bagi kesehatan. sedangkan secara batin mengkonsumsi produk yang tidak halal akan menghasil dosa. Hal tersebut mengharuskan masyarakat muslim mencari informasi produk yang akan dikonsumsi tersebut. Cara yang paling mudah adalah dengan teliti membaca label yang melekat pada kemasan produk yang menarik. Beberapa hal yang perlu diteliti oleh konsumen sebelum memutuskan untuk mengkonsumsi suatu produk adalah memahami bahasa/tulisan, nomor pendaftaran, nama produk, produsen dan alamat produksi, label halal, daftar bahan yang digunakan.
Uraian diatas menunjukan bahwa masyarakatlah yang harus mengevaluasi setiap produk yang akan dikonsumsi, lalu dimana peran pemerintah untuk melindungi masyarakat secara umumnya dan masyarakat mayoritas pada khususnya. Secara umum makanan sehat adalah hak setiap manusia, namun nilai plus dengan adanya label halal pada produk tersebut merupakan syarat utama. MUI sebagai organisasi masyarakat telah berupaya keras dalam memberikan himbauan kepada pemerintah maupun masyarakat perihal labelisasi halal pada produk makanan, tetapi apakah hanya sebatas himbauan saja kewenangan lembaga ini? Dengan perkembangan teknologi dan era globalisasi, produk-produk olahan, baik makanan, minuman, obat-obatan maupun kosmetika dikategorikan kedalam kelompok musytabihat (syubhat), apalagi jika produk tersebut berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas non muslim, walaupun bahan dan produknya barang suci dan halal. Sebab dalam proses pengolahannya tercampur atau menggunakan bahan-bahan yang haram atau tidak suci. Dalam UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pasal 4 (a) disebutkan bahwa hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Pada pasal ini menunjukan, bahwa setiap konsumen termasuk kosumen muslim berhak untuk mendapatkan barang yang nyaman dikonsumsi olehnya. Nyaman bagi konsumen muslim adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan kaidah agama atau halal.
Dengan adanya label halal, masyarakat muslim dapat memastikan produk mana saja yang boleh mereka konsumsi, yaitu produk yang memiliki dan mencantumkan label halal pada kemasannya. Masyarakat muslim memiliki hak untuk mengetahui bahwa suatu produk memiliki label halal atau tidak, khususnya setiap produk yang beredar di Indonesia. Dengan adanya hak untuk mengetahui kehalalan suatu produk, dapat dipastikan keterjaminan produk yang diedarkan di Indonesia tidak hanya aman, juga sebagai rasa mawas diri masyarakat muslim terhadap produk-produk yang dipasarkan. Namun begitupun dalam perjalanannya, masyarakat muslim mempunyai persepsi yang berbeda dalam memutuskan membeli suatu produk. Sebagian ada yang tidak memperdulikan dengan kehalalan suatu produk, dan ada pula sebagian lainnya memegang teguh pada prinsip bahwa suatu produk harus ada label halalnya.
Labelisasi obat dan makanan ditinjau dari pandangan masyarakat, maka kita akan berhadapan dengan kenyataan bahwa masyarakat, rakyat Indonesia sekitar 90% nya adalah konsumen muslim. Karenanya keamanan pangan bagi 90% masyarakat Indonesia harus terpenuhi, maka secara tidak langsung akan menjadi relatif aman pula bagi selain konsumen muslim Indonesia. Bagi konsumen muslim, makanan yang aman tidak hanya sekedar terbebas dari bahaya fisik, kimia ataupun mikrobiologi, tetapi juga ada suatu unsur yang sangat hakiki, yaitu aman dari bahaya barang yang diharamkan dan diragukan. Kemanan, mutu dan gizi pangan sebagaimana amanat UU pangan No.70 tahun 1996 adalah merupakan upaya pemerintah dalam pembangungan pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat Indonesia secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat.
Bahaya keamanan pangan yang termasuk kategori berbahaya ”yang haram dan atau yang meragukan” efek yang ditimbulkannya memang tidak tampak sebagimana efek dari cemaran kimia, fisik dan mikrobiologi yang langsung berimplikasi pada masalah kesehatan. Bahaya atas kategori halal ini berimplikasi pada ketenangan jiwa konsumen muslim dan sekali tercemar maka tidak dapat dielakan efek kerugiannya cukup besar baik financial maupun kepercayaan konsumen terhadap produk tersebut. Kasus lemak babi pada tahun 1988 dan kasus ajinomoto menjadi suatu pengalaman buruk yang sulit dilupakan bagi konsumen muslim dan menjadi pelajaran yang cukup mahal bagi para produsen yang ingin berbinis di Indonesia.
Pentingnya aspek legal labelisasi obat dan makanan, tekait dengan tuntutan konsumen yang terus meningkat khususnya mengenai aspek kehalalan ini. Secara hukum masalah ini telah diatur oleh pemerintah baik dalam undang-undang pangan, undang-undang perlindungan konsumen maupun peraturan pemerintah yang mengatur secara lebih teknis. Sebelumnya anggapan atas labelisasi pada produk makanan merupakan hal yang menyulitkan dan prosedur yang bertele-tele bagi produsen, namun untungnya hal ini dapat diklarifikasi, dimana hanya kejujuran dan keterbukaanlah hal yang paling utama dalam labelisasi terhadap produk makanan ini.
Berbagai kasus yang menghebohkan dan meresahkan umat Islam tidak memercepat pembahasannya. Selama ini, “label halal” yang melekat pada suatu produk didapatkan melalui Sertifikasi Produk Halal. Sertifikasi kehalalan suatu produk ditangani oleh Majelis Ulama Indonesia, dalam hal ini Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Saat ini, sertifikasi produk halal bukan menjadi sebuah kewajiban hukum pelaku usaha untuk memenuhinya. Pada dasarnya, kaidah hukumnya bersifat kebolehan (mogen). Tentu tercipta ketidakpastian hukum bagi jutaan konsumen muslim di Indonesia yang wajib mengonsumsi produk halal.
Dalam Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945),  Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Begitu juga dengan penduduk muslim Indonesia, mereka memiliki hak konstitusional untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap kehalalan produk sesuai dengan keyakinan agamanya.
Amanat UU pangan No.7 tahun 1996 atas keamanan, mutu dan gizi pangan adalah upaya pemerintah dalam pembangunan pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat Indonesia secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Namun apabila peredaran produk makanan masih seperti keadaan yang ada sekarang atau mungkin berkembang, maka perlindungan bagi konsumen muslim.
Indonesia belum jelas, lalu bagaimana pengawasan untuk menjamin kenyamanan, keamanan konsumen di Indonesia? Dengan berbagai masalah yang ada di negara tercinta ini, maka mulailah kita sebagai masyarakat untuk lebih mawas diri dalam mengkonsumsi makanan maupun produk lainnya, dan harapan kami sebagai masyarakat muslim khususnya, hal ini menjadi perhatian bagi pemerintah untuk memberikan status hukum yang jelas atas produk makanan baik bahan jadi maupun olahan yang beredar dimasyarakat. Dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pasal 4 (a) disebutkan bahwa hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Pasal ini menunjukkan, bahwa setiap konsumen, termasuk konsumen muslim yang merupakan mayoritas konsumen di Indonesia, berhak untuk mendapatkan barang yang nyaman dikonsumsi olehnya. Salah satu pengertian nyaman bagi konsumen muslim adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan kaidah agamnya, alias halal.
Selanjutnya, dalam pasal yang sama poin C disebutkan bahwa konsumen juga berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Hal ini memberikan pengertian kepada kita, bahwa keterangan halal yang diberikan oleh perusahaan haruslah benar, atau telah teruji terlebih dahulu. Dengan demikian perusahaan tidak dapat dengan serta merta mengklaim bahwa produknya halal, sebelum melalui pengujian kehalalan yang telah ditentukan.
Upaya pemerintah dalam memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal, tertuang pada Undang-undang No 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 mengamanatkan pemerintah untuk membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat BPJPH adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan Jaminan Produk Halal, dan mengeluarkan sertifikasi jaminan produk halal, lalu apa yang membedakan Sertifikasi dikelola BPJPH dengan Sertifikasi yang semulanya di lakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)?
Dilatarbelakangi permasalahan diatas, penulis tertarik untuk membahas mengenai Undang – Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal: ANALISIS PERANAN FATWA MUI DALAM PENYELENGGARAAN LABEL HALAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO.33 TAHUN 2014.
B.     Rumusan masalah :
1. Apa saja keuntungan sertifikasi produk halal bagi masyarakat Indonesia?
2. Bagaimanakah proses sertifikasi produk halal yang di lakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal?
3. Apa saja kewenangan MUI dalam proses sertifikasi produk halal berdasarkan Undang - Undang No. 33 Tahun 2014?
C.    Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan :
Sesuai dengan permasalahan diatas, maka tujuan penulisan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui manfaat dari pelaksanaan sertifikasi produk halal.
b. Untuk memahami proses serta prosedur sertifikasi produk halal yang di lakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal .
c. Untuk meninjau kedudukan MUI dalam proses sertifikasi produk halal.
2.      Manfaat Penulisan :
Adapun manfaat dari penulisan yang penulis teliti yang telah dikelompokan menjadi 2(dua) yaitu secara teoritis dan praktis adalah sebagai berikut :
a.  Manfaat teoritis penelitian yang penulis teliti adalah dapat dijadikan sebagai pedoman dalam penelitian yang lain yang sesuai dengan bidang penelitian yang penulis teliti. Dan diharapkan dapat menjadi bahan referensi, sumber informasi, dan sumbangan pemikiran baru dalam kalangan akademis dan praktisi dalam mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum khususnya hukum tata Negara.
b.  Manfaat praktis penelitian yang penulis teliti adalah dengan adanya penelitian yang penulis teiti diharapkan dapat diganakan sebagai informasi bagi masyarakat dan para akademis khususnya di disiplin ilmu hukum.
D.  Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara- cara atau prosedur ilmiah yang digunakan umtuk mengumpulkan , mengolah bahan dan menyajikan serta menganalisis data guna menemukan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan  yang di laksanakan  dengan metodde ilmiah untuk menjawab penulisan ini.
Metode  yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif yang beraitan dengan aspek hukum dari jaminan produk halal . penelitian hukum normatif diperoleh dengan cara mengadakan penelitian terhadap data sekunder dibidang hukum yaitu; jenis data yang diperoleh dari riset kepustakaan (library research), putusan pengadilan (kasus) serta dari data-data lain (misalnya: media cetak, hasil seminar, dsb.) yang berhubungan dengan judul penelitian.
1.       Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari penelitian kepustakaan (library research) yang bertujuan untuk mendapatkan konseps, teori, doktrin, pendapat dan bahkan pemikiran konseptual, serta dapat berupa pasal-pasal di dalam peraturan perundang-undangan, buku, tulisan karya ilmiah, serta karya-karya ilmiah yang lainnya.
Adapun data pokok yang dicantumkan dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang meliputi:
1.     Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Tahun 1945 Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2). dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, UU pangan No.7 tahun 1996, UU Dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
2.     Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau karya ilmiah, dan pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan penelitian ini;
3.     Bahan hukum tertier, yaitu bahan penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu kamus umum, majalah dan jurnal ilmiah, surat kabar daninternet,  sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.
2.    Analisis Data
Analisis data di dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan juga pasal-pasal di dalam undang-undang terpenting yang relevan dengan permasalahan. Membuat sistematika dari data tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
3.      Jenis dan Sifat Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode yuridis normatif, yakni pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini.
Pendekatan yang juga dikenal dengan pendekatan kepustakaan ini juga dilakukan dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini. Sifat penelitiannya adalah deskriptif  analitis yaitu menjelaskan, menguraikan secara analitis berdasarkan teori, konsep-konsep, pasal-pasal, dan data-data yang relevan.
E.     Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab yang disusun secara sistematis, yang mana antar bab demi bab saling terkait sehingga merupakan suatu rangkaian yang berkesinambungan.
Untuk mengetahui isi dari penulisan skripsi ini, dengan demikian disusunlah sistimatis penulisan skripsi yang terdiri dari 3 (tiga) bab, yaitu
BAB I              PENDAHULUAN
Bab ini merupakan gambaran umum secara keseluruhan serta bentuk metodologis dari penulis yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II            LANDASAN TEORI
Bab ini membahas terhadap teori dasar tentang kriteria halal makanan, prinsip Islam terhadap produksi dan konsumsi halal, serta ruang lingkup jaminan kehalalan dalam proses produksi.
BAB III           TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN
PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL
Bab ini membahas tentang tugas pokok dan fungsi serta kedudukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal sesuai Undang-Undang No. 33 Tahun 2014.
BAB IV            PERANAN FATWA MUI DALAM
PENYELENGGARAAN LABEL PRODUK HALAL SESUAI UNDANG-UNDANG NO.33 TAHUN 2014
Bab ini membahas gambaran umum beberapa pelaksanaan sistem jaminan produk halal, penelitian dan pembahasan mengenai peran fatwa MUI dalam penyelenggaraan label halal yang yang menguraikan hasil penelitian secara deduktif.
BAB IV            PENUTUP
Pada akhir bab ini penulis akan menyampaikan mengenai kesimpulan dan saran yang terkait dengan pembahasan dalam tulisan.

BAB II
LANDASAN TEORI
A.     Kriteria Makanan Halal.
1.      Pengertian Makanan Halal.
Makanan dalam bahasa arab adalah ath’imah kata jamak dari tha’am. Yaitu segala sesuatu yang dimakan dan dikonsumsi oleh manusia, baik makanan pokok maupun lainnya.
Makanan halal adalah makanan dan minuman yang baik dikonsumsi bagi manusia, terhindar dari hal najis dan diperoleh dengan cara yang baik. Thayyib atau baik adalah sesuatu yang dirasakan enak oleh indra atau jiwa, atau segala sesuatu selain yang menyakitkan dan menjijikkan.
Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia yang paling penting. Dalam Al-Qur‟an disebutkan bahwa kebutuhan manusia yang mendasar dari segala peristiwa serta semua jenis makanan seperti daging segar, ikan, padi, susu, sayur-sayuran, buah-buahan, madu, minyak, dan lain-lain dijelaskan di dalamnya.
Makanan yang dihalalkan adalah makanan yang baik dan disukai oleh jiwa. Tidak hanya itu, makanan yang halal juga menjadikan tubuh terhindar dari hal-hal keji. Maksudnya adalah ketika makanan baik masuk kedalam tubuh maka akan mengusir hal-hal yang sifatnya buruk baik terhadap kesehatan maupun terhadap perbuatan. Makanan yang halal menurut syariat di antaranya:
a.            Binatang laut
Semua binatang yang berada di laut termasuk dalam makanan yang halal, kecuali binatang yang mengandung racun karena dapat membahayakan jiwa.
b.            Binatang Ternak
Binatang yang dimaksud termasuk dalam binatang ternak
2.      Klasifikasi Makanan dan Minuman Halal.
Halal dalam makanan terdapat dua katagori pengertian yaitu halal dalam mendapatkannya dan halal dzat atu substansi barangnya. Halal dalam mendapatkannya maksudnya adalah kebenaran dalam mencari dan memperolehnya, tidak dengan cara yang bathil dan tidak pula dengan cara yang haram. Makanan yang pada dasarnya atau dzatnya halal namun cara memperolehnya dengan cara haram tidak dapat dikategorikan makanan halal. Beberapa cara memperoleh dengan jalan haram seperti: hasil riba, mencuri, menipu, hasil judi, hasil korupsi, dan perbuatan haram lainnya.
Dalam Al-qur‟an pada surat Al-Baqarah ayat 173 dijelaskan ada beberapa pokok makanan yang haram, yaitu :
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembeih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Al-Baqarah : 173)
Ayat tersebut menerangkan bahwa makanan yang diharamkan ada empat macam, yaitu:
a.       Bangkai, yang termasuk kategori bangkai adalah hewan yang mati dengan tidak disembelih, termasuk di dalamnya hewan yang mati tercekik, dipukul, jatuh atau diterkam oleh hewan buas kecuali yang sempat menyembelihnya.
b.      Darah, maksudnya adalah darah yang mengalir dari hewan yang disembelih.
c.       Daging babi, apapun yang berasal dari babi hukumnya haram baik darah, daging, tulang dan seluruh bagian tubuh babi.
d.      Binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah.
Sedangkan minuman yang diharamkan adalah semua bentuk khamer. Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 90:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berqurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.(QS. Al-Maidah : 90)
B.     Prinsip Islam Terhadap Produksi dan Konsumsi Halal
1.      Prinsip Islam Dalam Produksi Halal.
Prinsipnya, dalam memproduksi yang wajib dilakukan oleh setiap muslim adalah berpegang pada semua yang dihalalkan Allah dan tidak melewati batas. Tidak dibenarkan bahwa seorang muslim memproduksi barang-barang yang dilarang beredar, misalnya patung atau cawan dari bahan emas, makanan yang haram dari hasil atau hewannya, dan lainlain.
Dalam ekonomi Islam, seorang produsen musim harus komitmen dengan tujuan kaidah syariah untuk mengatur kegiatan ekonominya. Tujuan dari kaidah tersebut adalah untuk merangkai keserasian antara kegiatan ekonomi dan berbagai kegiatan yang lain dalam kehidupan untuk merealisasikan tujuan umum syariah, mewujudkan bentuk kemaslahatan, dan menghilangkan bentuk kerusakan.
Kaidah yang dimaksudkan oleh Umar Radhiyallahu Anhu meliputi kaidah Syariah, prinsip akhlak, dan kualitas.
a.       Kaidah syariah ini tidak hanya dilihat dari sisi halal dan haram produksi tersebut, akan tetapi juga meliputi tiga sisi didalamnya, yaitu akidah, ilmu, dan amal.
a.     Akidah adalah keyakinan seorang muslim bahwa segala aktivitasnya dalam bidang perekonomian merupakan bagian peran individu tersebut dalam kehidupan, sehingga apabila ia melakukannya dengan ikhlas dan cermat maka akan menjadi ibadah. Dengan kata lain, segala hasil usaha, keuntungan yang telah diraihnya, dan rezeki yang didapatakan adalah semata-mata karena Allah Subhanahu wa taala.
b.     Ilmu adalah pengetahuan yang dimiliki oleh seorang muslim yang kaitannya dengan perekonomian serta hukum-hukum Syariah. Dengan ilmu tersebut seorang muslim dapat kengetahui apa yang benar dan apa yang salah didalam perekonomian tersebut, misalkan dalam hal muamalahnya, usahanya, dan hasil halal yang didapatkannya.
c.      Amal adalah hasil aplikasi terhadap akidah dan sisi ilmiah yang dampaknya merupakan kualitas produksi yang dihasilkan. Kualitas produksi tersebut harus tunduk pada hukum Islam.
b.      Prinsip Akhlak
a.     Prinsip akhlak merupakan aktivitas kehidupan produksi, tidak hanya melihat dari sisi produksi halal, akan tetapi juga mencermati sarana dan cara produksi yang baik. Prinsip ini mengaitkan antara produsen muslim dengan akhlak yang mulia dan menjauhi akhlak buruk dalam produksi, misalnya proses produksi yang bohong, curang, merugikan orang lain, dan lain-lain.
b.     Kwalitas produksi mendapatkan perhatian para produsen dalam ekonomi Islam maupun konvensional. Perbedaan mendasar dari keduanya meliputi kwalitas, tujuan dan cara dalam berproduksi. Dalam ekonomi Islam, kwalitas produksi tidak hanya berkaitan dengan tujuan materi semata namun juga tuntutan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak dapat dicapai hanya dengan ambisi seorang produsen semata, akan tetapi juga harus mengetahui cara kerja serta ilmu yang dibutuhkan untuk mencapai kualitas suatu produk. Di antaranya:
c.      Ilmu Syariah. Maksudnya dalam kualitas produk dituntuk mengikuti cara Islam untuk pelaksanaannya.
d.     Ilmu dunia. Yaitu ilmu yang berkaitan dengan seni dan cara produksi. Ilmu ini meliputi ijtihad manusia untuk mewujudkan kemanfaatannya.
c.       Memperhatikan skala prioritas produksi
a.     Dalam Islam, tujuan produksi adalah mengarahkan kepada perealisasian tujuan dan memperhatikan urgensi dalam penempatan tujuan syariah sehingga memberikan prioritas terhadap produksi barang kebutuhan primer sebelum kebutuhan sekunder dan kebutuhan sekunder sebelum kebutuhan tersier.
C.     Ruang Lingkup Jaminan Kehalalan dalam Proses Produksi.
Islam mengajarkan umat muslim untuk mengkonsumsi produk yang halal. Berdasarkan pada hukum Islam ada tiga kategori produk untuk muslim yakni halal, haram, dan mushbooh. Halal dalam bahasa arab berarti diizinkan, bisa digunakan, dan sah menurut hukum (Yusoff, 2004). Kebalikan dari halal adalah haram yang berarti tidak diizinkan, tidak bisa digunakan, dan tidak sah menurut hukum sedangkan mushbooh (syubha, shubhah, dan mashbuh) berarti hitam putih, masih dipertanyakan, dan meragukan oleh karena itu sebaiknya dihindari.
Menurut Keputusan Menteri Agama R.I. Nomor 518 Tahun 2001 Tanggal 30 November 2001 pasal 1 menjelaskan bahwa pangan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam dan pengolahannya tidak bertentangan dengan syariat Islam. Pemeriksaan pangan halal adalah pemeriksaan tentang keadaan tambahan dan bahan penolong serta proses produksi, personalia dan peralatan produksi, sistem menajemen halal, dan hal-hal lain yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan produksi pangan halal.
Jaminan kehalalan suatu barang atau produk merupakan kunci utama dalam kriteria konsumsi halal. Jaminan kehalalan dapat dilakukan oleh siapa saja dengan dalih bahwa apa yang dihalalkan menurut syariat-Nya yang mana mereka menerapkan dalam produksinya maka itu adalah benar dan sah. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI menerapkan sistem jaminan kehalalan sebagai bahan terapan yang dapat digunakan oleh pihak-pihak produsen, termasuk oleh industri kecil menengah (IKM). Sistem jaminan halal yang dimaksud oleh lembaga tersebut adalah untuk menjamin kepada MUI atas kehalalan produk suatu perusahaan sepanjang masa perusahaan itu memegang sertifikat halal MUI. Sesuai dengan ketentuan MUI bahwa setiap produsen yang mendaftarkan produknya dalam jaminan sertifikat halal maka masa periode kadaluarsa sertifikat tersebut adalah dua tahun. Dengan demikian sebuah perusahaan harus dapat memberikan jaminan kepada MUI dan konsumen muslim bahwa perusahaan tersebut senantiasa menjaga konsistensi kehalalan produknya dengan mewajibkan perusahaan untuk menyusun suatu sistem jaminan halal dan dokumentasi. Dokumentasi ini di sebut dengan Manual Sistem Jaminan Halal (SJH).
SJH merupakan suatu manajemen yang disusun, diterapkan oleh perusahaan pemegang sertifikat halal untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai dengan ketentuan LPPOM MUI.
Dalam prosedur jaminannya, terdapat suatu sistem yang dinamakan dengan manual SJH yaitu dokumentasi SJH yang memiliki komponen-komponen seperti kendali dokumen, pendahuluan yang terdiri dari informasi dasar perusahaan; tujuan penerapan; ruang lingkup penerapan, dan komponen yang ketiga adalah komponen SJH. Komponen SJH adalah komponen yang memiliki ruang lingkup yang cukup banyak, di antaranya:
a.     Kebijakan halal. yaitu suatu pernyataan tentang komitmen perusahaan untuk memproduksi produk halal secar konsisten. Cangkupannya meliputi konsistensi dalam penggunaan dan pengadaan bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong serta dalam proses produksi halal.
b.     Panduan halal. Pedoman perusahaan dalam melaksanakan kegiatan untuk menjamin produksi halal. Panduan tersebut di antaranya : panduan dalam hal haram halal, dasar Al-Qur‟an dan fatwa MUI, keputusan identifikasi titik kritis keharaman bahan dan proses produksi, hasil dari indentifikasi, peluang identifikasi bahan dengan barang najis, serta jurnal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI.
c.      Organisasi manajemen halal. Manajemen halal adalah organisasi internal perusahaan yang mengelola seluruh fungsi dan aktifitas manajemen dalam menghasilkan produk halal. Organisasi manajemen halal dipimpin oleh seorang koordinator auditor halal internal yang melakukan koordinasi dalam menjaga kehalalan produk yang menjadi penanggung jawab komunikasi antara perusahaan dengan LPPOM MUI.
d.     Standard Operating Prosedures (SOP). SOP adalah suatu perangkat instruksi yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Hal tersebut dibuat agar perusahaan mempunyai prosedur baku untuk mencapai tujuan penerapan SJH yang mengacu kepada kebijakan halal perusahaan.
e.     Acuan teknis. Acuan teknis dilakukan berdasarkan bidang yang berada dalam organisasi manajemen halal. acuan teknis ini berfungsi sebagai dokumen untuk membantu pekerjaan bidang terkait dalam melaksanakan tugasnya. Acuan teknis terbagi dalam beberapa bagian, diantaranya :
a.     Acuan teknis bagian pembelian
b.     Acuan teknis untuk bagian riset dan pengembangan
c.      Acuan teknis untuk bagian produksi.
d.     Acuan teknis untuk bagian pengendalian dan pengawasan mutu
e.     Acuan teknis untuk bagian pergudangan
f.       Sistem administrasi. Sebuah perusahaan harus mempunyai gambaran administrasi secara rinci yang terkait dengan SJH. Dimulai dari pembelian bahan, penerimaan barang, penyimpanan barang, riset dan pengembangan, produksi, penyimpanan hingga distribusi.
g.     Sistem dokumentasi. Pelaksanaan SJH harus didukung oleh dokumentasi yang baik dan mudah diakses oleh pihak yang terlibat dalam proses produksi halal termasuk LPPOM MUI sebagai lembaga sertifikat halal. dokumen tersebut adalah : pembelian bahan, penerimaan bahan, penyimpanan bahan, riset dan pengembangan, produksi, penyimpanan produk, distribusi produk, evaluasi dan monitoring, kegiatan pelatihan dan sosialisasi, tindakan perbaikan atas ketidaksesuaian, manajemen review.
h.     Sosialisasi. Mensosialisasikan SJH yang telah di terapkan dalam sebuah perusahaan kepada seluruh karyawan hingga tingkat operasional perusahaan. Metode yang dilakukan oleh perusahaan dapat berupa poster, ceramah umum, buletin internal, audit supplier, atau memo internal perusahaan.
i.        Pelatihan. Perusahaan perlu melakukan pelatihan bagi seluruh jajaran pelaksana SJH. Pelatihan yang dilakukan melibatkan seluruh personal yang pekerjaannya mempengaruhi status kehalalan produk. Pelatihan ini dapat dilakukan oleh LPPOM MUI atau dari perusahaan itu sendiri.
j.        Komunikasi internal dan eksternal. Dalam sebuah perusahaan harus memiliki cakap komunikasi dengan pihak manapun, baik pihak perusahaan itu sendiri maupun dari luar.
k.      Audit internal. Audit internal merupakan pantauan yang dilakukan untuk mengevaluasi pelaksanaan SJH. Tujuannya adalah untuk menentukan kesesuaian SJH perusahaan dengan standar yang telah ditetapkan oleh LPPOM MUI, mendeteksi penyimpangan yang terjadi serta menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan, perbaikan tentang permasalahan yang terjadi dalam perusahaan, dan sebagai informan pelaksanaan SJH kepda manajemen dan LPPOM MUI. Ruang lingkup dari audit halal ini meliputi dari dokumentasi SJH serta pelaksanaan SJH tersebut. Dan pelaksanaan dari audit internal ini mengacu pada waktu pelaksanaannya, metode yang dilakukan dalam sistem audit, auditor atau pelaksana yang dalam hal ini adalah auditor halal internal. Serta pihak yang menjadi obyek dari audit ini meliputi bagian organisasi manajemen halal.
l.        Tindakan perbaikan. Tindakan ini dilakukan apabila terdapat ketidak sesuaian pelaksanaannya pada saat dilakukan audit halal internal.
m.   Kaji ulang manajemen. Kaji ulang ini dilakukan secara menyeluruh dalam kurun waktu tertentu, yaitu 1 tahun sekali.
D.    Pengertian Umum Fatwa
Fatwa berasal dari bahasa arab yang artinya nasihat, petuah, jawaban atau pendapat. Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorangmufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.
 Hukum berfatwa adalah fardu kifayah, kalau ada orang lain yang bisa memberi fatwa selain dirinya. Adapun kalau tidak ada orang lain yang bisa memberi fatwa dan masalah yang difatwakan itu cukup mendesak maka ia pun secara fardu ‘ain wajib memberi fatwa atas pristiwa itu.

Oleh karena fatwa itu menyangkut masalah agama maka tidak sembarang orang bisa menduduki sebagai mufti syarat-syarat yang harus di miliki oleh seorang mufti antara lain adalah:
a.       Fatwanya harus didasarkan kepada kitab-kitab induk yang mutabar agar fatwa yang diberikan itu dapat diterima oleh penerima fatwa.
b.      Apabila ia berfatwa berdasrkan qoul seseorang alim, maka ia dapat menunjukan dasar sumber pengambilan fatwanya itu, dengan demikian ia terhindar dari berbuat salah dan bohong.
c.       Seorang mufti harus mengerti atau mengetahui berbagai macam pendapat ulama agar tidak terjadi kesalah fahaman antara ia dan penerima fatwanya.
d.      Seorang mufti haruslah seorang alim yang memiliki kejujuran.
Menurut Ahmad Hasan, Fatwa adalah bahasa arab yang berarti jawaban pertanyaan atau ketetapan hukum, maksudnya ialah ketapan atau keputusan hukum tentang sesuatu masalah atau peristiwa yang nyata oleh seorang mujtahid, sebagai hasil ijtihadnya.
Menurut Abu Zahra fatwa sahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasullullah saw, yang langsung menerima risalahnya,dan mendengar langsung penjelasan syari’atnya dari beliau sendiri. Oleh karena itu Jumhur telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah sesuai dalil-dalil nash.
Menurut Ibnu Qayyim, fatwa adalah pernyataan yang disampaikan oleh seorang mufti tentang persoalan agama yang belum diketahui hukumnya. Tugas seorang mufti pada dasarnya sama dengan seorang mujtahid, yaitu mencurahkan seluruh potensi pikirannya untuk membahas maslah keagamaan.
Fatwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”) yang kami akses dari laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaanadalah keputusan atau pendapat yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah dengan kata lain yaitu nasihat orang alim.
Berfatwa salah satu bentuk implementasi amar ma’ruf nahyi munkar, sebab menyampaikan pesan-pesan agama yang harus dikerjakan atau dijauhi oleh umat. Karena itu hukum berfatwa menurut asalnya adalah fardhu kifayah. Apabila dalam suatu daerah hanya ada seorang mufti yang dapat ditanyai tentang suatu masalah hukum yang sudah terjadi dan akan luput seandainya ia tidak segera berfatwa, maka hukum berfatwa adalah fardhu ain.
E.     Tinjauan Umum Tentang Sertifikasi Halal
Sertifikasi halal merupakan jaminan keamanan bagi seorang konsumen muslim untuk dapat memilih makanan yang baik baginya dan sesuai dengan aturan agama. Produk makanan yang memiliki sertifikat halal adalah produk yang didalam proses pengolahannya memenuhi standar dalam keamanan dan kebersihannya.
Menurut Keputusan Menteri Agama R.I. nomer 518 menyatakan bahwa sertifikasi halal adalah fatwa tertulis yang menyatakan kehalalan suatu produk pangan yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, 13 Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Sertifikasi halal di Indonesia dikeluarkan resmi oleh MUI yang mengindikasikan bahwa produk sudah lolos tes uji halal. Produk yang memiliki sertifiksi halal adalah produk yang telah teruji dalam kehalalan dan bisa dikonsumsi umat muslim. Produk yang telah memiliki sertifikasi halal dibuktikan dengan pencantuman logo halal dalam kemasan produk.
Tahun 2001 Departemen Agama juga mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tatacara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. SK Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal, yaitu adalah MUI melalui Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (selanjutnya disebut LPPOM) dan SK Nomor 525 Tahun 2001 tentang Penunjukan Peruri sebagai Pelaksana Pencetak Label Halal.

BAB III
TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL
A.     Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan Produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Jaminan mengenai Produk Halal hendaknya dilakukan sesuai dengan asas pelindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas.
Oleh karena itu, jaminan penyelenggaraan Produk Halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal. Tujuan tersebut menjadi penting mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan, dan kosmetik berkembang sangat pesat. Hal itu berpengaruh secara nyata pada pergeseran pengolahan dan pemanfaatan bahan baku untuk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, serta Produk lainnya dari yang semula bersifat sederhana dan alamiah menjadi pengolahan dan pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu pengetahuan. Pengolahan produk dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan percampuran antara yang halal dan yang haram baik disengaja maupun tidak disengaja.
Oleh karena itu, untuk mengetahui kehalalan dan kesucian suatu Produk, diperlukan suatu kajian khusus yang membutuhkan pengetahuan multidisiplin, seperti pengetahuan di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, dan pemahaman tentang syariat. Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya banyak Produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya. Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dengan pengaturan Produk Halal belum memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat muslim.
Oleh karena itu, pengaturan mengenai JPH perlu diatur dalam satu undang-undang yang secara komprehensif mencakup Produk yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produkbiologi, dan produk rekayasa genetik serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Pokok-pokok pengaturan dalam Undang-Undang ini antara lain adalah sebagai berikut.
a.     Untuk menjamin ketersediaan Produk Halal, ditetapkan bahan produk yang dinyatakan halal, baik bahan yang berasal dari bahan baku hewan, tumbuhan, mikroba, maupun bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawai, proses biologi, atau proses rekayasa genetik. Di samping itu, ditentukan pula PPH yang merupakan rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.
b.     Undang-Undang ini mengatur hak dan kewajiban Pelaku Usaha dengan memberikan pengecualian terhadap Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada kemasan Produk atau pada bagian tertentu dari Produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Produk.
c.      Dalam rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH yang pelaksanaannya dilakukan oleh BPJPH. Dalam menjalankan wewenangnya, BPJH bekerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, MUI, dan LPH.
d.     Tata cara memperoleh Sertifikat Halal diawali dengan pengajuan permohonan Sertifikat Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh LPH. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi dari BPJH yang bekerjasama dengan MUI. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang ditandatangani oleh MUI. BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI tersebut.
e.     Biaya sertifikasi halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal. Dalam rangka memperlancar pelaksanaan penyelenggaraan JPH, UndangUndang ini memberikan peran bagi pihak lain seperti Pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah, perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan komunitas untuk memfasilitasi biaya sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil.
f.       Dalam rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan JPH, BPJPH melakukan pengawasan terhadap LPH; masa berlaku Sertifikat Halal; kehalalan Produk; pencantuman Label Halal; pencantuman keterangan tidak halal; pemisahan lokasi, tempat dan alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal; keberadaan Penyelia Halal; dan/atau kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.
g.     Untuk menjamin penegakan hukum terhadap pelanggaran Undang-Undang ini, ditetapkan sanksi administratif dan sanksi pidana.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) diresmikan oleh Menteri Agama pada tanggal 11/10/2017. Pendirian BPJPH merupakan amanat undang-undang yang menyatakan bahwa lembaga tersebut harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun setelah UU-JPH diundangkan (lihat Pasal 64). Meski pembentukan BPJPH tergolong lambat, akan tetapi tindakan tersebut layak untuk diapreasi.
BPJPH adalah badan pemerintah yang ditugaskan untuk menyelenggarakan jaminan produk halal. Keberadaannya berada di bawah Menteri Agama dan bertanggungjawab kepada menteri juga. Menurut Pasal 6 UU-JPH, kewenangan BPJPH dalam menyelenggarakan jaminan produk halal mencakup:
a.            Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
b.            menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;
c.            menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk;
d.            melakukan registrasi Sertifikat Halal pada produk luar negeri;
e.            melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal;
f.             melakukan akreditasi terhadap LPH;
g.            melakukan registrasi Auditor Halal;
h.            melakukan pengawasan terhadap JPH;
i.              melakukan pembinaan Auditor Halal; dan
j.             melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.

Berdasarkan kewenangan atributif di atas, saat ini BPJPH merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk menyelenggarakan sertifikasi produk halal di Indonesia. Dengan demikian maka proses sertifikasi produk halal tidak lagi berada di bawah kewenangan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majellis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).  
Meski demikian, sesuai dengan UU-JPH, MUI tetap mempunyai peran strategis dalam proses sertifikasi produk halal. Hal ini menunjukkan bahwa BPJPH dapat melakukan kerjasama dengan MUI terkait proses sertifikasi auditor halal, akreditasi Lembaga Penjamin Halal (LPH) dan penetapan kehalalan produk dalam bentuk fatwa.
Dengan diundangkannya BPJPH, diharapkan pengurusan proses penyelenggaraan jaminan halal menjadi semakin lebih baik dari sebelumnya. Dari segi kelembagaan dan legalitas tentunya keberadaan BPJPH menjadi jelas karena telah diatur dalam undang-undang. Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dengan diresmikannya BPJPH maka diharapkan  Indonesia bisa masuk 10 besar produsen halal dunia versi Global Islamic Economy Indicator 2017.
Mengingat potensi industri halal di Indonesia sangat besar, maka target yang ditetapkan oleh menteri agama menjadi beralasan. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan pelayanan sertifikasi dan pengawasan terhadap produk halal maka diharapkan BPJH dapat beroperasi secara profesionalisme, berintegritas dan transparansi, sehingga terhindar dari pungutan liar dan gratifikasi.
Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Muslim, maka tentunya kebutuhan akan sertifikasi halal atas suatu produk menjadi tinggi, karena dalam perspektif Islam, selain halal makanan juga harus baik (thoyyib). Sebelum dikeluarkannya UU-JPH penyelenggaraan sertifikasi produk halal hanya bersifat voluntary (sukarela), namun demikian setelah diundangkannya UU-JPH, penyelengggaraan sertifikasi halal bersifat mandatory (wajib). Oleh sebab itu, para pelaku usaha memiliki kewajiban untuk mendaftar ke BPJPH agar produknya bisa disertifikasi kehalalannya.
Dalam kaitannya lembaga yang berwenang melakukan sertifikasi halal, BPJPH harus melakukan sosialisasi terus menerus kepada masyarakat akan pentingnya sertifikasi produk halal, karena bisa saja kesadaran masyarakat masih kurang akan hal ini. Selain itu, pemerintah juga harus mendukung sepenuhnya keberadaan BPJPH ini, sehingga bisa berjalan dan melakukan tugasnya dengan maksimal.
Salah satu negara yang berhasil menerapkan sertifikasi halal adalah Malaysia. Keberhasilan Malaysia dalam menerapkan sertifikasi halal ini patut ditiru Indonesia. Keberhasilan Malaysia dalam menerapkan sertifikasi halal tentunya mendapat dukungan penuh dari pemerintahnya, sehingga membawa Malaysia menjadi pemain utama produk halal di dunia saat ini.
Oleh sebab itu, Peraturan Pelaksana UU-JPH harus segera dikeluarkan agar BPJPH bisa segera menjalankan tugasnya dengan maksimal.  Di masa datang diharapkan dengan hadirnya BPJPH, Indonesia tidak lagi menjadi konsumen produk halal dari negara luar, namun menjadi produsen utama produk halal di dunia.
B.     Asas dan Tujuan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
1.      Penyelenggara Jaminan Produk Halal berasaskan:
a.       Pelindungan   
Yang dimaksud dengan asas “pelindungan” adalah bahwa dalam menyelenggarakan JPH bertujuan melindungi masyarakat muslim.
b.      Keadilan;
Yang dimaksud dengan asas “keadilan” adalah bahwa dalam penyelenggaraan JPH harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
c.       Kepastian hukum;
Yang dimaksud dengan asas “kepastian hukum” adalah bahwa penyelenggaraan JPH bertujuan memberikan kepastian hukum mengenai kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal.
d.      Akuntabilitas dan transparansi;
Yang dimaksud dengan asas “akuntabilitas dan transparansi” adalah bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan JPH harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
e.       Efektivitas dan efisiensi;
Yang dimaksud dengan asas “efektivitas dan efisiensi” adalah bahwa penyelenggaraan JPH dilakukan dengan berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna serta meminimalisasi penggunaan sumber daya yang dilakukan dengan cara cepat, sederhana, dan biaya ringan atau terjangkau.
f.       Profesionalitas
Yang dimaksud dengan asas “profesionalitas” adalah bahwa penyelenggaraan JPH dilakukan dengan mengutamakan keahlian yang berdasarkan kompetensi dan kode etik.
2.      Penyelenggara Jaminan Produk Halal Bertujuan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk; dan Meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.
Kerja Sama Majelis Ulama Indonesia dan Kementerian/Lembaga mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan, koordinasi, dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, kriteria, bimbingan teknis dan supervisi, evaluasi, serta laporan kerja sama jaminan produk halal dengan Majelis Ulama Indonesia dan Kementerian/Lembaga.
Regulasi yang dilakukan pemerintah menuju ke arah unifikasi perundang-undangan atau setidaknya upaya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan produksi yang harus tersertifikasi “halal”. Dan regulasi ini termasuk ranah kebijakan hukum – politik hukum. Hal demikian meniscayakan terbangunya suatu sistem jaminan produk halal (selanjutnya ditulis JPH).
Bahwa keberadaan kebijakan – politik hukum – terhadap produk yang digunakan dan dikonsumsi oleh masyarakat harus bersertifikat halal, tentu dikategorikan sebagai “hal kontemporer” dalam arti memang tidak pernah ada di jaman Rasulullah SAW. Oleh karenannya, jaminan produk halal dan thayyib merupakan sesuatu yang bersifat ijtihadi. Konstruksi ijtihadi – jaminan produk halal dan thayyib dalam bentuk sertifikasi halal meniscayakan terbangunnya paradigma teoritik, yaitu teori Istislah – maslahah mursalah. Istislah atau maslahah mursalah, adalah manfaat-manfaat yang seirama dengan tujuan Allah (pembuat hukum), akan tetapi tidak terdapat dalil khusus dalam al-Qur’an dan al Sunnah yang menjelaskan bahwa manfaat tersebut diakui atau tidak diakui oleh Allah SWT. Dengan mengaitkan hukum dengan manfaat tersebut, maka akan dapat diwujudkan kemaslahatan bagi manusia atau akan dapat dihindarkan keburukan – madharat - dari manusia. Sebagai ikhtiar dan implementasi atas langkah strategis melindungi umat dari serbuan pelbagai peredaran produk pangan yang mengandung bahanbahan non halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) melalui SK No. 018/ MUI/I/1989 tertanggal 6 Januari 1989/26 Jumadil Awal 1409 H, lembaga ini beranggotakan unsur ulama dan ilmuwan yang berkompeten dan sejumlah ahli bidang pangan, kimia, biokimia, fikih Islam dan lainlain.
LPPOM MUI semula dimaksudkan sebagai respon atas peredaran bahan pangan tertentu yang berasal dari babi. Isu “lemak babi” ini menyulut gelombang protes yang cukup besar dari kalangan umat Islam. Di sisi produsen, berdampak omzet penjualan produk bersangkutan kontan anjlok drastis.29 Maka LPPOM- MUI didirikan agar dapat memberikan rasa tentram dan ketenangan batin pada umat tentang produk yang dikonsumsinya.30 Tahun 1994 LPPOM MUI mengawali kiprah menggagas sertifikasi halal terhadap pangan yang beredar di pasaran mulai dilakukan. Proses sertifikasi dilakukan sendiri oleh MUI. Sementara izin label halal pada kemasan pangan diberikan oleh Departemen Kesehatan (Depkes) c.q. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
Model semacam ini menyebabkan terjadinya dualisme dalam pengurusan sertifikat dan label halal. Sehingga produk yang sudah mendapatkan sertifikat halal dari MUI masih harus diperiksa lagi oleh BPOM guna mendapatkan izin penggunaan logo halal. Untuk memangkas prosedur birokrasi, 21 Juni 1996 melalui piagam kerja sama antara Departemen Kesehatan, Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia akhirnya disepakati bahwa pencantuman label halal pada produk pangan akan ditangani bersama oleh tiga instansi tersebut.31 Dalam pelaksanaannya sertifikat halal dikeluarkan oleh MUI berdasarkan audit tim gabungan tiga instansi tersebut. Dengan sertifikat halal MUI tersebut perusahaan bisa langsung mendapatkan izin pencantuman label halal dari BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan).
Sehingga tidak ada lagi dualisme dalam kepengurusan halal. BPOM telah menyerahkan sepenuhnya sertifikasi halal ini kepada Komisi Fatwa MUI. Pemberian atau penolakan sertifikat halal sepenuhnya berada di MUI. Berdasarkan fatwa MUI ini, BPOM akan memberi persetujuan pencantuman label halal bagi yang memperoleh sertifikat halal, atau memberi penolakan bagi yang tidak mengantongi sertifikat halal. Hal ini, memberikan kepastian bagi konsumen dalam mengonsumsi produk makanan.
Sertifikasi Halal dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UUJPH) Doktrin halâlan thayyiban (halal dan baik) sangat perlu untuk diinformasikan dan diformulasikan secara efektif dan operasional kepada masyarakat disertai dengan tercukupinya sarana dan prasarana. Salah satu sarana penting untuk mengawal doktrin halâlan thayyiban adalah dengan hadirnya pranata hukum yang mapan, sentral, humanis, progresif, akamodatif dan tidak diskriminatif yakni dengan hadirnya Undang Undang Nomor 33 Tentang Jaminan Produk Halal (UUJPH).
Beberapa faktor yang mendasari pentingnya UUJPH antara lain, pertama pelbagai peraturan perundang-undangan yang telah ada yang mengatur atau yang berkaitan dengan produk halal belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum bagi konsumen untuk dapat mengonsumsi produk halal.
Sehingga masyarakat mengalami kesulitan dalam membedakan antara produk yang halal dan haram. Selain itu pengaturan produknya masih sangat terbatas hanya soal pangan belum mencakup obat-obatan, kosmetik, produk kimia biologis dan rekayasa genetik.
Kedua, tidak ada kepastian hukum kepada institusi mana keterlibatan negara secara jelas di dalam jaminan produk halal. Sistem yang ada belum secara jelas memberikan kepastian wewenang, tugas dan fungsi dalam kaitan implementasi JPH, termasuk koordinasinya. Ketiga, peredaran dan produk di pasar domestik makin sulit dikontrol akibat meningkatnya teknologi pangan, rekayasa teknologi, bioteknologi dan proses kimia biologis.
Tujuan dari UU JPH adalah untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan Produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat sesuai dengan asas pelindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. Selain itu, penyelenggaraan sistem produk halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.
BAB IV
PERANAN FATWA MUI
DALAM PENYELENGGARAAN LABEL PRODUK HALAL

A.    Babak Baru Sertifikasi Jaminan Produk Halal
Terbentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) akan menyempurnakan proses sertifikasi produk halal yang selama ini dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam hal ini, BPJPH akan menerbitkan sertifikasi halal setelah mendapatkan fatwa dari MUI.
Peranan MUI tetap ada, dan sangat penting dalam proses sertifikasi halal. "BPJPH merupakan badan yang berfungsi sebagai "regulator"/pengatur dalam proses sertifikasi halal, peranan BPJPH dan MUI dalam Proses Sertifikasi Halal Sesuai dengan UU no 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Dalam UU no. 33/2014 tentang JPH yang disahkan pada tanggal 17 Oktober 2014 oleh Presiden SBY tersebut memberikan payung hukum terhadap proses sertifikasi halal. Selama ini proses sertifikasi halal dilakukan oleh LPPOM-MUI, sebagai sebuah lembaga non-pemerintah. Dengan berlakunya UU no. 33/2014 ini, peranan LPPOM-MUI menjadi LPH (Lembaga Pemeriksa Halal).
UU no. 33/2014 tentang JPH mengatur proses sertifikasi sebagai berikut. Pertama, pemohon mengajukan permohonan sertifikasi ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), sebuah badan di bawah Kemenag.
Kedua, BPJPH mengarahkan permohonan tersebut ke Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk (Pasal 30). Ketiga, LPH boleh dibentuk oleh Pemerintah dan masyarakat - yang diajukan oleh lembaga keagamaan Islam berbadan hukum (Pasal 12 dan 13).
Selanjutnya, hasil pemeriksaan/audit oleh LPH diserahkan ke BPJPH untuk diverifikasi. Jika ada keraguan terhadap hasil uji lab, lanjut Ikhsan, maka BPJPH akan melakukan "second opinion" dengan mengundang lab uji lainnya untuk memperjelas hasil.
Kemudian BPJPH akan mengajukan hasil audit tersebut ke MUI untuk dimintakan fatwa untuk memperoleh penetapan kehalalan produk (Pasal 32). .BPJPH menerbitkan sertifikat halal setelah fatwa MUI menyetujuinya (Pasal 33). Peranan UU no. 33/2014 tentang JPH menjamin terpenuhinya hak-hak konsumen untuk memperoleh produk yang halal dan baik. "Karena itu Sertifikasi halal menjadi wajib sifatnya.

B.     Wewenang MUI pada Proses Sertifikasi Jaminan Produk Halal
UU mewajibkan seluruh produk yang diproduksi dan diedarkan di NKRI bersertfkat halal. Karenanya, negara menjamin proses produksi halal. BPJPH sebagai lembaga yang diberi mandat untuk penyelenggaraan jaminan produk halal. Penetapan kehalalan produk tetap di MUI.
Sementara dikutip dari laman Kemenag, seperti disampaikan Menag Lukman Hakim, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI walau sudah ada BPJPH, tetap mempunyai 3 kewenangan, yakni:
1.    Mengeluarkan fatwa kehalalan suatu produk, sebelum BPJPH mengeluarkan label halal, terlebih dahulu harus mendapatkan fatwa kehalalan dari MUI. Artinya, fatwa halal tetap menjadi domain MUI.
2.    Melakukan sertifikasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal, Menjadi kewenangan dan keputusan MUI, apakah sebuah lembaga lolos sebagai Lembaga Pemeriksa Halal atau tidak.
3.    Auditor-auditor yang bergerak dalam industri halal harus mendapatkan persetujuan Majelis Ulama Indonesia.
Sementara BPJPH bertugas menerbitkan sertifikat halal, setelah mendapat fatwa dari MUI, Dalam rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH yang pelaksanaannya dilakukan oleh BPJPH. Dalam menjalankan wewenangnya, BPJH bekerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, MUI, dan LPH.
Tata cara memperoleh Sertifikat Halal diawali dengan pengajuan permohonan Sertifikat Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh LPH. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi dari BPJH yang bekerjasama dengan MUI. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang ditandatangani oleh MUI. BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI tersebut.
Dalam rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan JPH, BPJPH melakukan pengawasan terhadap LPH; masa berlaku Sertifikat Halal; kehalalan Produk; pencantuman Label Halal; pencantuman keterangan tidak halal; pemisahan lokasi, tempat dan alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal; keberadaan Penyelia Halal; dan/atau kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.

BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil penulisan mengenai “Analisis peran fatwa MUI dalam penyelenggaraan label halal berdasarkan Undang-Undang No.33 tahun 2014” yang dilakukan secara perspektif dengan memberikan argumentasi serta gagasan atas penilaian peran fatwa MUI dalam penyelenggaraan label halal berdasarkan Undang-Undang No.33 tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
Berdasarkan pembahasan diatas penulis menyimpulkan agar Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dapat bersinergi dalam upaya menjamin kepastian hukum serta mengikuti regulasi yang dilakukan pemerintah agar adanya upaya sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan produksi yang harus tersertifikasi halal terhadap produk yang digunakan dan dikonsumsi oleh masyarakat harus bersertifikat halal.
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI walau sudah ada BPJPH, tetap mempunyai 3 kewenangan, yakni:
a.       Mengeluarkan fatwa kehalalan suatu produk, sebelum BPJPH mengeluarkan label halal, terlebih dahulu harus mendapatkan fatwa kehalalan dari MUI. Artinya, fatwa halal tetap menjadi domain MUI.
b.      Melakukan sertifikasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal, Menjadi kewenangan dan keputusan MUI, apakah sebuah lembaga lolos sebagai Lembaga Pemeriksa Halal atau tidak,
c.       Auditor-auditor yang bergerak dalam industri halal harus mendapatkan persetujuan Majelis Ulama Indonesia.
B.     Saran
            Dengan beberapa uraian diatas, maka selanjutnya penulis memberikan saran-saran untuk meningkatkan dan mengembangkan pelaksanaan sertifikasi jaminan prodak halal dengan mengharapkan pemerintah agar tetap mendengar aspirasi masyarakat, dan peranan pemerintah dalam mengambil alih sertifikasi jaminan produk halal di harapkan untuk tetap menjaga kepercayaan masyarakat, terutama dalam melibatkan MUI dalam proses sertifikasi Jaminan Produk Halal.
1.          BPJPH perlu menata organisasi, tata kerja dan sumber daya manusia.
2.          BPJPH perlu segera bersinergi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga fatwa dan juga lembaga yang selama ini melakukan tugas sertifikasi halal.
3.          BPJPH perlu menetapkan standar dan prosedur-prosedur yang profesional. Sebagai dasar untuk penetapan fatwa halal oleh MUI sebagai bagian dari BPJPH.
4.          Perlu adanya kepastian protap dan prosedurnya benar-benar profesional sehingga masyarakat dapat yakin.
5.          Sosialisasi tentang BPJPH. Sosialisasi diharapkan lebih kuat dibandingkan dulu ketika masih ditangani hanya oleh MUI. Agar masyarakat dan dunia usaha paham. Soal makanan dan minuman, obat dan kosmetik secara bertahap diprioritaskan BPJPH.
Pada intinya penulis sangat berharap trobosan Jaminan Produk Halal dapat membangun bangsa, serta BPJPH dapat menjaga transparansi dan akuntabilitas dari lembaga tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
·              Undang-Undang No.33 tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
·              Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tatacara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. SK Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal.
·              Khalid Mazian, Kassim Thukiman, dan Mohd Zubil Bahak, Maslahah Dalam Pandangan Hukum Syarak.
·              Lada et al, 2000
·              www.halalmui.org
Next
Previous