PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Indonesia
merupakan Negara yang mayoritas penduduknya menganut agama islam terbesar di
dunia. produk - produk yang digunakan seorang muslim seharusnya
adalah produk yang halal . namun dewasa ini banyak pro-kontra mengenai
ketentuan produk halal yang seharusnya tertera di dalam produk tersebut. Bagi
masyarakat muslim Indonesia pengetahuan tentang halal dan haram mengenai sebuah
produk adalah hal yang sangat penting.
Bahaya
keamanan pangan yang termasuk kategori berbahaya ”yang haram dan atau yang
meragukan” efek yang ditimbulkannya memang tidak tampak sebagimana efek
dari cemaran kimia, fisik, dan mikrobiologi yang langsung berimplikasi
pada masalah kesehatan. Bahaya atas kategori halal ini berimplikasi pada
ketenangan jiwa konsumen muslim dan sekali tercemar maka tidak dapat
dielakan efek kerugiannya cukup besar baik financial maupun kepercayaan
konsumen terhadap prosuk tersebut.
Masyarakat
Indonesia sekitar 90% nya adalah muslim. Karenanya keamanan pangan bagi
90% masyarakat Indonesia harus terpenuhi. sertifikasi halal pada produk makanan
yang menjadi konsumsi masyarakat, merupakan salah satu upaya perlindungan
pemerintah terhadap masyarakat secara umum.
Perkembangan
era globalisasi membawa dampak ke dalam kehidupan manusia yang ada di bumi
tercinta ini. Gaya hidup “Modern” dengan kemajuan ilmu dan teknologi apakah
telah membawa kita lupa akan nilai-nilai agama yang harus dijaga. Indonesia
dengan 90% masyarakat muslim seharusnya menjadi perhatian penting bagi
pemerintah dalam membuat kebijakan yang terkait dengan masalah pangan.
Sebagai
agama yang diyakini tentu saja hal ini harus tetap menjadi dasar bagi umatnya
dalam berperilaku. Salah satunya adalah pola “makan”. Makan adalah hukumnya
wajib bagi seluruh manusia, tetapi apakah yang kita makan merupakan hak kita?.
Hak adalah yang memang baik dan halal untuk dimakan. Peraturan Pemerintah No.69
tahun 1999 pasal 1 ayat 5 bahwa pangan halal adalah pangan yang tidak
mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat
Islam, baik yang menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan
bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui
proses rekayasa genetika dan iradiasi pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan
sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam.
Bagaimana
para produsen menanggapi hal tersebut? Setiap orang yang memproduksi dan
mengemasnya untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam dan
atau dikemasan pangan dan label tersebut memuat sekurang-kurangnya informasi
mengenai (a) nama produk, (b) daftar bahan yang digunakan, (c) berat bersih
atau isi bersih (d) nama, dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan
pangan kedalam wilayah Indonesia (e) keterangan tentang halal dan tanggal,
bulan dan tahun kadaluarsa, demikian isi dari pasal 30 UU pangan No.7 tahun
1996 tentang label dan iklan pangan. Produk impor kini mulai membanjiri tanah
air kita dengan berbagai jenis produk makanan, baik bahan mentah maupun bahan
jadi, dengan harga dan kemasan yang menarik.
Masyarakat
perlu hati-hati dalam memilih produk tersebut, boleh jadi ada yang tersembunyi
dibalik produk makanan tersebut yang tidak laik dikonsumsi. Bagi seorang muslim
kesalahan dalam memilih produk yang dikonsumsi dapat berujung pada kerugian
lahir dan batin. Produk yang mengandung bahan yang berbahaya akan memberikan
dampak bagi kesehatan. sedangkan secara batin mengkonsumsi produk yang tidak
halal akan menghasil dosa. Hal tersebut mengharuskan masyarakat muslim mencari
informasi produk yang akan dikonsumsi tersebut. Cara yang paling mudah adalah
dengan teliti membaca label yang melekat pada kemasan produk yang menarik.
Beberapa hal yang perlu diteliti oleh konsumen sebelum memutuskan untuk
mengkonsumsi suatu produk adalah memahami bahasa/tulisan, nomor pendaftaran,
nama produk, produsen dan alamat produksi, label halal, daftar bahan yang
digunakan.
Uraian
diatas menunjukan bahwa masyarakatlah yang harus mengevaluasi setiap produk
yang akan dikonsumsi, lalu dimana peran pemerintah untuk melindungi masyarakat
secara umumnya dan masyarakat mayoritas pada khususnya. Secara umum makanan
sehat adalah hak setiap manusia, namun nilai plus dengan adanya label halal
pada produk tersebut merupakan syarat utama. MUI sebagai organisasi masyarakat
telah berupaya keras dalam memberikan himbauan kepada pemerintah maupun
masyarakat perihal labelisasi halal pada produk makanan, tetapi apakah hanya
sebatas himbauan saja kewenangan lembaga ini? Dengan perkembangan teknologi dan
era globalisasi, produk-produk olahan, baik makanan, minuman, obat-obatan
maupun kosmetika dikategorikan kedalam kelompok musytabihat (syubhat), apalagi
jika produk tersebut berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas non muslim,
walaupun bahan dan produknya barang suci dan halal. Sebab dalam proses pengolahannya
tercampur atau menggunakan bahan-bahan yang haram atau tidak suci. Dalam UU
No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pasal 4 (a) disebutkan bahwa hak
konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Pada pasal ini menunjukan, bahwa setiap
konsumen termasuk kosumen muslim berhak untuk mendapatkan barang yang nyaman
dikonsumsi olehnya. Nyaman bagi konsumen muslim adalah bahwa barang tersebut
tidak bertentangan dengan kaidah agama atau halal.
Dengan
adanya label halal, masyarakat muslim dapat memastikan produk mana saja yang
boleh mereka konsumsi, yaitu produk yang memiliki dan mencantumkan label halal
pada kemasannya. Masyarakat muslim memiliki hak untuk mengetahui bahwa suatu
produk memiliki label halal atau tidak, khususnya setiap produk yang beredar di
Indonesia. Dengan adanya hak untuk mengetahui kehalalan suatu produk, dapat
dipastikan keterjaminan produk yang diedarkan di Indonesia tidak hanya aman,
juga sebagai rasa mawas diri masyarakat muslim terhadap produk-produk yang
dipasarkan. Namun begitupun dalam perjalanannya, masyarakat muslim mempunyai
persepsi yang berbeda dalam memutuskan membeli suatu produk. Sebagian ada yang
tidak memperdulikan dengan kehalalan suatu produk, dan ada pula sebagian
lainnya memegang teguh pada prinsip bahwa suatu produk harus ada label halalnya.
Labelisasi
obat dan makanan ditinjau dari pandangan masyarakat, maka kita
akan berhadapan dengan kenyataan bahwa masyarakat, rakyat Indonesia
sekitar 90% nya adalah konsumen muslim. Karenanya keamanan pangan bagi 90%
masyarakat Indonesia harus terpenuhi, maka secara tidak langsung akan
menjadi relatif aman pula bagi selain konsumen muslim Indonesia. Bagi
konsumen muslim, makanan yang aman tidak hanya sekedar terbebas dari
bahaya fisik, kimia ataupun mikrobiologi, tetapi juga ada suatu unsur yang sangat
hakiki, yaitu aman dari bahaya barang yang diharamkan dan diragukan.
Kemanan, mutu dan gizi pangan sebagaimana amanat UU pangan No.70 tahun
1996 adalah merupakan upaya pemerintah dalam pembangungan pangan untuk
memenuhi kebutuhan dasar rakyat Indonesia secara adil dan merata
berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat.
Bahaya
keamanan pangan yang termasuk kategori berbahaya ”yang haram dan atau yang
meragukan” efek yang ditimbulkannya memang tidak tampak sebagimana efek
dari cemaran kimia, fisik dan mikrobiologi yang langsung berimplikasi pada
masalah kesehatan. Bahaya atas kategori halal ini berimplikasi pada
ketenangan jiwa konsumen muslim dan sekali tercemar maka tidak dapat
dielakan efek kerugiannya cukup besar baik financial maupun kepercayaan
konsumen terhadap produk tersebut. Kasus lemak babi pada tahun 1988
dan kasus ajinomoto menjadi suatu pengalaman buruk yang sulit dilupakan
bagi konsumen muslim dan menjadi pelajaran yang cukup mahal bagi para
produsen yang ingin berbinis di Indonesia.
Pentingnya
aspek legal labelisasi obat dan makanan, tekait dengan tuntutan
konsumen yang terus meningkat khususnya mengenai aspek kehalalan ini.
Secara hukum masalah ini telah diatur oleh pemerintah baik dalam
undang-undang pangan, undang-undang perlindungan konsumen maupun peraturan
pemerintah yang mengatur secara lebih teknis. Sebelumnya anggapan atas
labelisasi pada produk makanan merupakan hal yang menyulitkan dan prosedur
yang bertele-tele bagi produsen, namun untungnya hal ini dapat diklarifikasi,
dimana hanya kejujuran dan keterbukaanlah hal yang paling utama dalam
labelisasi terhadap produk makanan ini.
Berbagai
kasus yang menghebohkan dan meresahkan umat Islam tidak memercepat
pembahasannya. Selama ini, “label halal” yang melekat pada suatu produk
didapatkan melalui Sertifikasi Produk Halal. Sertifikasi kehalalan suatu produk
ditangani oleh Majelis Ulama Indonesia, dalam hal ini Lembaga Pengkajian Pangan
Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Saat ini,
sertifikasi produk halal bukan menjadi sebuah kewajiban hukum pelaku usaha
untuk memenuhinya. Pada dasarnya, kaidah hukumnya bersifat kebolehan (mogen).
Tentu tercipta ketidakpastian hukum bagi jutaan konsumen muslim di Indonesia
yang wajib mengonsumsi produk halal.
Dalam Pasal
28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945), Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu. Begitu juga dengan penduduk muslim Indonesia, mereka memiliki hak
konstitusional untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap kehalalan produk
sesuai dengan keyakinan agamanya.
Amanat UU pangan No.7 tahun 1996 atas keamanan, mutu dan gizi pangan
adalah upaya pemerintah dalam pembangunan pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar
rakyat Indonesia secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak
bertentangan dengan keyakinan masyarakat. Namun apabila peredaran produk
makanan masih seperti keadaan yang ada sekarang atau mungkin berkembang, maka
perlindungan bagi konsumen muslim.
Indonesia belum jelas, lalu bagaimana pengawasan untuk menjamin
kenyamanan, keamanan konsumen di Indonesia? Dengan berbagai masalah yang ada di
negara tercinta ini, maka mulailah kita sebagai masyarakat untuk lebih mawas
diri dalam mengkonsumsi makanan maupun produk lainnya, dan harapan kami sebagai
masyarakat muslim khususnya, hal ini menjadi perhatian bagi pemerintah untuk
memberikan status hukum yang jelas atas produk makanan baik bahan jadi maupun
olahan yang beredar dimasyarakat. Dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, pasal 4 (a) disebutkan bahwa hak konsumen adalah
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa. Pasal ini menunjukkan, bahwa setiap konsumen, termasuk konsumen
muslim yang merupakan mayoritas konsumen di Indonesia, berhak untuk mendapatkan
barang yang nyaman dikonsumsi olehnya. Salah satu pengertian nyaman bagi
konsumen muslim adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan kaidah
agamnya, alias halal.
Selanjutnya,
dalam pasal yang sama poin C disebutkan bahwa konsumen juga berhak atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa. Hal ini memberikan pengertian kepada kita, bahwa keterangan
halal yang diberikan oleh perusahaan haruslah benar, atau telah teruji terlebih
dahulu. Dengan demikian perusahaan tidak dapat dengan serta merta mengklaim
bahwa produknya halal, sebelum melalui pengujian kehalalan yang telah
ditentukan.
Upaya pemerintah dalam memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan
kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan
menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk
memproduksi dan menjual Produk Halal, tertuang pada Undang-undang No 33 Tahun
2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 mengamanatkan pemerintah untuk membentuk
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat BPJPH
adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan Jaminan
Produk Halal, dan mengeluarkan sertifikasi jaminan produk halal, lalu apa yang
membedakan Sertifikasi dikelola BPJPH dengan Sertifikasi yang semulanya di
lakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)?
Dilatarbelakangi
permasalahan diatas, penulis tertarik untuk membahas mengenai Undang – Undang
No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal: ANALISIS PERANAN FATWA MUI
DALAM PENYELENGGARAAN LABEL HALAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO.33 TAHUN 2014.
B. Rumusan
masalah :
1. Apa saja keuntungan sertifikasi produk halal bagi
masyarakat Indonesia?
2. Bagaimanakah proses sertifikasi produk halal yang di
lakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal?
3. Apa saja kewenangan MUI dalam proses sertifikasi produk
halal berdasarkan Undang - Undang No. 33 Tahun 2014?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan :
Sesuai dengan permasalahan diatas, maka tujuan penulisan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui manfaat dari pelaksanaan sertifikasi produk
halal.
b. Untuk
memahami proses serta prosedur sertifikasi produk halal yang di lakukan
oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal .
c. Untuk meninjau kedudukan MUI dalam proses sertifikasi
produk halal.
2. Manfaat
Penulisan :
Adapun manfaat dari penulisan yang penulis
teliti yang telah dikelompokan menjadi 2(dua) yaitu secara teoritis dan praktis
adalah sebagai berikut :
a. Manfaat teoritis penelitian yang
penulis teliti adalah dapat dijadikan
sebagai pedoman dalam penelitian yang lain yang sesuai dengan bidang penelitian
yang penulis teliti. Dan diharapkan
dapat menjadi bahan referensi, sumber informasi, dan sumbangan pemikiran baru
dalam kalangan akademis dan praktisi dalam mengembangkan khasanah ilmu
pengetahuan pada umumnya dan
ilmu hukum khususnya hukum tata Negara.
b. Manfaat praktis penelitian yang
penulis teliti adalah dengan adanya penelitian yang penulis teiti diharapkan
dapat diganakan sebagai informasi bagi masyarakat dan para akademis khususnya
di disiplin ilmu hukum.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara- cara atau
prosedur ilmiah yang digunakan umtuk mengumpulkan , mengolah bahan dan
menyajikan serta menganalisis data guna menemukan dan menguji kebenaran suatu
pengetahuan yang di laksanakan dengan metodde ilmiah untuk menjawab
penulisan ini.
Metode yang digunakan dalam
penulisan ini adalah metode penelitian hukum normatif yang beraitan dengan
aspek hukum dari jaminan produk halal . penelitian hukum normatif diperoleh
dengan cara mengadakan penelitian terhadap data sekunder dibidang hukum yaitu;
jenis data yang diperoleh dari riset kepustakaan (library research), putusan
pengadilan (kasus) serta dari data-data lain (misalnya: media cetak, hasil
seminar, dsb.) yang berhubungan dengan judul penelitian.
1. Sumber
Data
Sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari penelitian kepustakaan (library
research) yang bertujuan untuk mendapatkan konseps, teori, doktrin,
pendapat dan bahkan pemikiran konseptual, serta dapat berupa pasal-pasal di
dalam peraturan perundang-undangan, buku, tulisan karya ilmiah, serta
karya-karya ilmiah yang lainnya.
Adapun
data pokok yang dicantumkan dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang
meliputi:
1. Bahan
hukum primer, yaitu Undang-Undang Tahun 1945 Pasal 28E ayat (1) dan
Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2). dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal, UU
pangan No.7 tahun 1996, UU Dalam Undang-Undang Dasar
1945 (UUD 1945), Undang-undang
Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
2. Bahan
hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti hasil-hasil seminar atau karya ilmiah, dan pendapat dari
kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan penelitian ini;
3. Bahan
hukum tertier, yaitu bahan penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu kamus umum, majalah
dan jurnal ilmiah, surat kabar daninternet, sepanjang memuat informasi
yang relevan dengan penelitian ini.
2. Analisis
Data
Analisis
data di dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan
teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan juga pasal-pasal di dalam
undang-undang terpenting yang relevan dengan permasalahan. Membuat sistematika
dari data tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai
dengan permasalahan yang diteliti.
3. Jenis
dan Sifat Penelitian
Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan metode yuridis normatif,
yakni pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara
menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini.
Pendekatan
yang juga dikenal dengan pendekatan kepustakaan ini juga dilakukan dengan
mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang
berhubungan dengan penelitian ini. Sifat penelitiannya adalah deskriptif
analitis yaitu menjelaskan, menguraikan secara analitis berdasarkan teori,
konsep-konsep, pasal-pasal, dan data-data yang relevan.
E. Sistematika
Penulisan
Penulisan
skripsi ini terdiri dari empat bab yang disusun secara sistematis, yang mana
antar bab demi bab saling terkait sehingga merupakan suatu rangkaian yang
berkesinambungan.
Untuk
mengetahui isi dari penulisan skripsi ini, dengan demikian disusunlah
sistimatis penulisan skripsi yang terdiri dari 3 (tiga) bab, yaitu
BAB
I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan gambaran umum secara keseluruhan serta bentuk
metodologis dari penulis yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian,
dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN
TEORI
Bab ini membahas terhadap teori dasar tentang kriteria halal makanan,
prinsip Islam terhadap produksi dan konsumsi halal, serta ruang lingkup jaminan
kehalalan dalam proses produksi.
BAB
III TENTANG
TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN
PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL
Bab ini membahas tentang tugas pokok dan fungsi serta kedudukan Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal sesuai Undang-Undang No. 33 Tahun 2014.
BAB
IV PERANAN
FATWA MUI DALAM
PENYELENGGARAAN
LABEL PRODUK HALAL SESUAI UNDANG-UNDANG NO.33 TAHUN 2014
Bab ini membahas gambaran umum beberapa pelaksanaan sistem jaminan
produk halal, penelitian dan pembahasan mengenai peran
fatwa MUI dalam penyelenggaraan label halal yang yang menguraikan hasil penelitian secara deduktif.
BAB IV
PENUTUP
Pada akhir bab ini penulis akan menyampaikan mengenai kesimpulan
dan saran yang terkait dengan pembahasan dalam tulisan.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kriteria
Makanan Halal.
1. Pengertian
Makanan Halal.
Makanan
dalam bahasa arab adalah ath’imah kata jamak dari tha’am. Yaitu segala sesuatu
yang dimakan dan dikonsumsi oleh manusia, baik makanan pokok maupun lainnya.
Makanan
halal adalah makanan dan minuman yang baik dikonsumsi bagi manusia, terhindar
dari hal najis dan diperoleh dengan cara yang baik. Thayyib atau baik adalah
sesuatu yang dirasakan enak oleh indra atau jiwa, atau segala sesuatu selain
yang menyakitkan dan menjijikkan.
Makanan
merupakan kebutuhan pokok manusia yang paling penting. Dalam Al-Qur‟an
disebutkan bahwa kebutuhan manusia yang mendasar dari segala peristiwa serta
semua jenis makanan seperti daging segar, ikan, padi, susu, sayur-sayuran,
buah-buahan, madu, minyak, dan lain-lain dijelaskan di dalamnya.
Makanan
yang dihalalkan adalah makanan yang baik dan disukai oleh jiwa. Tidak hanya
itu, makanan yang halal juga menjadikan tubuh terhindar dari hal-hal keji.
Maksudnya adalah ketika makanan baik masuk kedalam tubuh maka akan mengusir
hal-hal yang sifatnya buruk baik terhadap kesehatan maupun terhadap perbuatan.
Makanan yang halal menurut syariat di antaranya:
a. Binatang
laut
Semua
binatang yang berada di laut termasuk dalam makanan yang halal, kecuali
binatang yang mengandung racun karena dapat membahayakan jiwa.
b. Binatang
Ternak
Binatang
yang dimaksud termasuk dalam binatang ternak
2. Klasifikasi
Makanan dan Minuman Halal.
Halal
dalam makanan terdapat dua katagori pengertian yaitu halal dalam mendapatkannya
dan halal dzat atu substansi barangnya. Halal dalam mendapatkannya maksudnya
adalah kebenaran dalam mencari dan memperolehnya, tidak dengan cara yang bathil
dan tidak pula dengan cara yang haram. Makanan yang pada dasarnya atau dzatnya
halal namun cara memperolehnya dengan cara haram tidak dapat dikategorikan
makanan halal. Beberapa cara memperoleh dengan jalan haram seperti: hasil riba,
mencuri, menipu, hasil judi, hasil korupsi, dan perbuatan haram lainnya.
Dalam
Al-qur‟an pada surat Al-Baqarah ayat 173 dijelaskan ada beberapa pokok makanan
yang haram, yaitu :
“Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembeih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas,maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”(QS. Al-Baqarah : 173)
Ayat
tersebut menerangkan bahwa makanan yang diharamkan ada empat macam, yaitu:
a. Bangkai,
yang termasuk kategori bangkai adalah hewan yang mati dengan tidak disembelih,
termasuk di dalamnya hewan yang mati tercekik, dipukul, jatuh atau diterkam
oleh hewan buas kecuali yang sempat menyembelihnya.
b. Darah,
maksudnya adalah darah yang mengalir dari hewan yang disembelih.
c. Daging
babi, apapun yang berasal dari babi hukumnya haram baik darah, daging, tulang
dan seluruh bagian tubuh babi.
d. Binatang
yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah.
Sedangkan
minuman yang diharamkan adalah semua bentuk khamer. Firman Allah dalam surat
Al-Maidah ayat 90:
Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berqurban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji, termasuk
perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.(QS. Al-Maidah : 90)
B. Prinsip
Islam Terhadap Produksi dan Konsumsi Halal
1. Prinsip
Islam Dalam Produksi Halal.
Prinsipnya,
dalam memproduksi yang wajib dilakukan oleh setiap muslim adalah berpegang pada
semua yang dihalalkan Allah dan tidak melewati batas. Tidak dibenarkan bahwa
seorang muslim memproduksi barang-barang yang dilarang beredar, misalnya
patung atau cawan dari bahan emas, makanan yang haram dari hasil atau hewannya,
dan lainlain.
Dalam
ekonomi Islam, seorang produsen musim harus komitmen dengan tujuan kaidah
syariah untuk mengatur kegiatan ekonominya. Tujuan dari kaidah tersebut adalah
untuk merangkai keserasian antara kegiatan ekonomi dan berbagai kegiatan yang
lain dalam kehidupan untuk merealisasikan tujuan umum syariah, mewujudkan
bentuk kemaslahatan, dan menghilangkan bentuk kerusakan.
Kaidah
yang dimaksudkan oleh Umar Radhiyallahu Anhu meliputi kaidah Syariah, prinsip
akhlak, dan kualitas.
a. Kaidah
syariah ini tidak hanya dilihat dari sisi halal dan haram produksi tersebut,
akan tetapi juga meliputi tiga sisi didalamnya, yaitu akidah, ilmu, dan amal.
a. Akidah
adalah keyakinan seorang muslim bahwa segala aktivitasnya dalam bidang
perekonomian merupakan bagian peran individu tersebut dalam kehidupan, sehingga
apabila ia melakukannya dengan ikhlas dan cermat maka akan menjadi ibadah.
Dengan kata lain, segala hasil usaha, keuntungan yang telah diraihnya, dan
rezeki yang didapatakan adalah semata-mata karena Allah Subhanahu wa taala.
b. Ilmu
adalah pengetahuan yang dimiliki oleh seorang muslim yang kaitannya dengan
perekonomian serta hukum-hukum Syariah. Dengan ilmu tersebut seorang muslim
dapat kengetahui apa yang benar dan apa yang salah didalam perekonomian
tersebut, misalkan dalam hal muamalahnya, usahanya, dan hasil halal yang
didapatkannya.
c. Amal
adalah hasil aplikasi terhadap akidah dan sisi ilmiah yang dampaknya merupakan
kualitas produksi yang dihasilkan. Kualitas produksi tersebut harus tunduk pada
hukum Islam.
b. Prinsip
Akhlak
a. Prinsip
akhlak merupakan aktivitas kehidupan produksi, tidak hanya melihat dari sisi
produksi halal, akan tetapi juga mencermati sarana dan cara produksi yang baik.
Prinsip ini mengaitkan antara produsen muslim dengan akhlak yang mulia dan
menjauhi akhlak buruk dalam produksi, misalnya proses produksi yang bohong,
curang, merugikan orang lain, dan lain-lain.
b. Kwalitas
produksi mendapatkan perhatian para produsen dalam ekonomi Islam maupun
konvensional. Perbedaan mendasar dari keduanya meliputi kwalitas, tujuan dan
cara dalam berproduksi. Dalam ekonomi Islam, kwalitas produksi tidak hanya
berkaitan dengan tujuan materi semata namun juga tuntutan Islam dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini tidak dapat dicapai hanya dengan ambisi seorang produsen
semata, akan tetapi juga harus mengetahui cara kerja serta ilmu yang dibutuhkan
untuk mencapai kualitas suatu produk. Di antaranya:
c. Ilmu
Syariah. Maksudnya dalam kualitas produk dituntuk mengikuti cara Islam untuk
pelaksanaannya.
d. Ilmu
dunia. Yaitu ilmu yang berkaitan dengan seni dan cara produksi. Ilmu ini
meliputi ijtihad manusia untuk mewujudkan kemanfaatannya.
c. Memperhatikan
skala prioritas produksi
a. Dalam
Islam, tujuan produksi adalah mengarahkan kepada perealisasian tujuan dan
memperhatikan urgensi dalam penempatan tujuan syariah sehingga memberikan
prioritas terhadap produksi barang kebutuhan primer sebelum kebutuhan sekunder
dan kebutuhan sekunder sebelum kebutuhan tersier.
C. Ruang
Lingkup Jaminan Kehalalan dalam Proses Produksi.
Islam mengajarkan umat muslim untuk mengkonsumsi produk yang
halal. Berdasarkan pada hukum Islam ada tiga kategori produk untuk muslim yakni
halal, haram, dan mushbooh. Halal dalam bahasa arab berarti diizinkan, bisa
digunakan, dan sah menurut hukum (Yusoff, 2004). Kebalikan dari halal adalah
haram yang berarti tidak diizinkan, tidak bisa digunakan, dan tidak sah menurut
hukum sedangkan mushbooh (syubha, shubhah, dan mashbuh) berarti hitam putih,
masih dipertanyakan, dan meragukan oleh karena itu sebaiknya dihindari.
Menurut
Keputusan Menteri Agama R.I. Nomor 518 Tahun 2001 Tanggal 30 November 2001
pasal 1 menjelaskan bahwa pangan halal adalah pangan yang tidak mengandung
unsur atau bahan haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam dan
pengolahannya tidak bertentangan dengan syariat Islam. Pemeriksaan pangan halal
adalah pemeriksaan tentang keadaan tambahan dan bahan penolong serta proses
produksi, personalia dan peralatan produksi, sistem menajemen halal, dan
hal-hal lain yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan
produksi pangan halal.
Jaminan kehalalan suatu barang atau produk merupakan kunci utama
dalam kriteria konsumsi halal. Jaminan kehalalan dapat dilakukan oleh siapa
saja dengan dalih bahwa apa yang dihalalkan menurut syariat-Nya yang mana
mereka menerapkan dalam produksinya maka itu adalah benar dan sah. Lembaga
Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI menerapkan sistem
jaminan kehalalan sebagai bahan terapan yang dapat digunakan oleh pihak-pihak
produsen, termasuk oleh industri kecil menengah (IKM). Sistem jaminan halal
yang dimaksud oleh lembaga tersebut adalah untuk menjamin kepada MUI atas
kehalalan produk suatu perusahaan sepanjang masa perusahaan itu memegang
sertifikat halal MUI. Sesuai dengan ketentuan MUI bahwa setiap produsen yang
mendaftarkan produknya dalam jaminan sertifikat halal maka masa periode
kadaluarsa sertifikat tersebut adalah dua tahun. Dengan demikian sebuah
perusahaan harus dapat memberikan jaminan kepada MUI dan konsumen muslim bahwa
perusahaan tersebut senantiasa menjaga konsistensi kehalalan produknya dengan
mewajibkan perusahaan untuk menyusun suatu sistem jaminan halal
dan dokumentasi. Dokumentasi ini di sebut dengan Manual Sistem Jaminan
Halal (SJH).
SJH
merupakan suatu manajemen yang disusun, diterapkan oleh perusahaan pemegang
sertifikat halal untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai
dengan ketentuan LPPOM MUI.
Dalam
prosedur jaminannya, terdapat suatu sistem yang dinamakan dengan manual SJH
yaitu dokumentasi SJH yang memiliki komponen-komponen seperti kendali dokumen,
pendahuluan yang terdiri dari informasi dasar perusahaan; tujuan penerapan;
ruang lingkup penerapan, dan komponen yang ketiga adalah komponen SJH. Komponen
SJH adalah komponen yang memiliki ruang lingkup yang cukup banyak, di antaranya:
a. Kebijakan
halal. yaitu suatu pernyataan tentang komitmen perusahaan untuk memproduksi
produk halal secar konsisten. Cangkupannya meliputi konsistensi dalam
penggunaan dan pengadaan bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong serta
dalam proses produksi halal.
b. Panduan
halal. Pedoman perusahaan dalam melaksanakan kegiatan untuk menjamin produksi
halal. Panduan tersebut di antaranya : panduan dalam hal haram halal, dasar
Al-Qur‟an dan fatwa MUI, keputusan identifikasi titik kritis keharaman bahan
dan proses produksi, hasil dari indentifikasi, peluang identifikasi bahan
dengan barang najis, serta jurnal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI.
c. Organisasi
manajemen halal. Manajemen halal adalah organisasi internal perusahaan yang
mengelola seluruh fungsi dan aktifitas manajemen dalam menghasilkan produk
halal. Organisasi manajemen halal dipimpin oleh seorang koordinator auditor
halal internal yang melakukan koordinasi dalam menjaga kehalalan produk yang
menjadi penanggung jawab komunikasi antara perusahaan dengan LPPOM MUI.
d. Standard
Operating Prosedures (SOP). SOP adalah suatu perangkat instruksi yang dibakukan
untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Hal tersebut dibuat agar
perusahaan mempunyai prosedur baku untuk mencapai tujuan penerapan SJH yang
mengacu kepada kebijakan halal perusahaan.
e. Acuan
teknis. Acuan teknis dilakukan berdasarkan bidang yang berada dalam organisasi
manajemen halal. acuan teknis ini berfungsi sebagai dokumen untuk membantu
pekerjaan bidang terkait dalam melaksanakan tugasnya. Acuan teknis terbagi
dalam beberapa bagian, diantaranya :
a. Acuan
teknis bagian pembelian
b. Acuan
teknis untuk bagian riset dan pengembangan
c. Acuan
teknis untuk bagian produksi.
d. Acuan
teknis untuk bagian pengendalian dan pengawasan mutu
e. Acuan
teknis untuk bagian pergudangan
f. Sistem
administrasi. Sebuah perusahaan harus mempunyai gambaran administrasi secara
rinci yang terkait dengan SJH. Dimulai dari pembelian bahan,
penerimaan barang, penyimpanan barang, riset dan pengembangan, produksi,
penyimpanan hingga distribusi.
g. Sistem
dokumentasi. Pelaksanaan SJH harus didukung oleh dokumentasi yang baik dan
mudah diakses oleh pihak yang terlibat dalam proses produksi halal termasuk
LPPOM MUI sebagai lembaga sertifikat halal. dokumen tersebut adalah : pembelian
bahan, penerimaan bahan, penyimpanan bahan, riset dan pengembangan, produksi,
penyimpanan produk, distribusi produk, evaluasi dan monitoring, kegiatan
pelatihan dan sosialisasi, tindakan perbaikan atas ketidaksesuaian, manajemen
review.
h. Sosialisasi.
Mensosialisasikan SJH yang telah di terapkan dalam sebuah perusahaan kepada
seluruh karyawan hingga tingkat operasional perusahaan. Metode yang dilakukan
oleh perusahaan dapat berupa poster, ceramah umum, buletin internal, audit
supplier, atau memo internal perusahaan.
i. Pelatihan.
Perusahaan perlu melakukan pelatihan bagi seluruh jajaran pelaksana SJH.
Pelatihan yang dilakukan melibatkan seluruh personal yang pekerjaannya
mempengaruhi status kehalalan produk. Pelatihan ini dapat dilakukan oleh LPPOM
MUI atau dari perusahaan itu sendiri.
j. Komunikasi
internal dan eksternal. Dalam sebuah perusahaan harus memiliki cakap komunikasi
dengan pihak manapun, baik pihak perusahaan itu sendiri maupun dari luar.
k. Audit
internal. Audit internal merupakan pantauan yang dilakukan untuk mengevaluasi
pelaksanaan SJH. Tujuannya adalah untuk menentukan kesesuaian SJH perusahaan
dengan standar yang telah ditetapkan oleh LPPOM MUI, mendeteksi penyimpangan
yang terjadi serta menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan, perbaikan
tentang permasalahan yang terjadi dalam perusahaan, dan sebagai informan
pelaksanaan SJH kepda manajemen dan LPPOM MUI. Ruang lingkup dari audit halal
ini meliputi dari dokumentasi SJH serta pelaksanaan SJH tersebut. Dan
pelaksanaan dari audit internal ini mengacu pada waktu pelaksanaannya, metode
yang dilakukan dalam sistem audit, auditor atau pelaksana yang dalam hal ini
adalah auditor halal internal. Serta pihak yang menjadi obyek dari audit ini
meliputi bagian organisasi manajemen halal.
l. Tindakan
perbaikan. Tindakan ini dilakukan apabila terdapat ketidak sesuaian
pelaksanaannya pada saat dilakukan audit halal internal.
m. Kaji
ulang manajemen. Kaji ulang ini dilakukan secara menyeluruh dalam kurun waktu
tertentu, yaitu 1 tahun sekali.
D. Pengertian Umum Fatwa
Fatwa berasal dari bahasa
arab yang artinya nasihat, petuah,
jawaban atau pendapat.
Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil
oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh
seorangmufti atau ulama, sebagai tanggapan atau
jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti)
yang tidak mempunyai keterikatan. Dengan demikian peminta fatwa tidak harus
mengikuti isi atau hukum fatwa yang diberikan kepadanya.
Hukum berfatwa adalah fardu
kifayah, kalau ada orang lain yang bisa memberi fatwa selain dirinya. Adapun
kalau tidak ada orang lain yang bisa memberi fatwa dan masalah yang difatwakan
itu cukup mendesak maka ia pun secara fardu ‘ain wajib memberi fatwa atas
pristiwa itu.
Oleh karena fatwa itu menyangkut masalah agama maka tidak
sembarang orang bisa menduduki sebagai mufti syarat-syarat yang harus di miliki
oleh seorang mufti antara lain adalah:
a. Fatwanya
harus didasarkan kepada kitab-kitab induk yang mutabar agar fatwa yang
diberikan itu dapat diterima oleh penerima fatwa.
b. Apabila
ia berfatwa berdasrkan qoul seseorang alim, maka ia dapat menunjukan dasar
sumber pengambilan fatwanya itu, dengan demikian ia terhindar dari berbuat
salah dan bohong.
c. Seorang
mufti harus mengerti atau mengetahui berbagai macam pendapat ulama agar tidak
terjadi kesalah fahaman antara ia dan penerima fatwanya.
d. Seorang
mufti haruslah seorang alim yang memiliki kejujuran.
Menurut Ahmad Hasan, Fatwa adalah bahasa arab yang berarti jawaban
pertanyaan atau ketetapan hukum, maksudnya ialah ketapan atau keputusan hukum
tentang sesuatu masalah atau peristiwa yang nyata oleh seorang mujtahid,
sebagai hasil ijtihadnya.
Menurut Abu Zahra fatwa sahabat adalah orang-orang yang bertemu
Rasullullah saw, yang langsung menerima risalahnya,dan mendengar langsung
penjelasan syari’atnya dari beliau sendiri. Oleh karena itu Jumhur telah
menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah sesuai dalil-dalil nash.
Menurut Ibnu Qayyim, fatwa adalah pernyataan yang disampaikan oleh
seorang mufti tentang persoalan agama yang belum diketahui hukumnya.
Tugas seorang mufti pada dasarnya sama dengan seorang mujtahid, yaitu mencurahkan
seluruh potensi pikirannya untuk membahas maslah keagamaan.
Fatwa
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”) yang kami akses dari
laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaanadalah keputusan atau pendapat yang diberikan oleh
mufti tentang suatu masalah dengan kata lain yaitu nasihat orang alim.
Berfatwa salah satu bentuk implementasi amar ma’ruf nahyi munkar,
sebab menyampaikan pesan-pesan agama yang harus dikerjakan atau dijauhi oleh
umat. Karena itu hukum berfatwa menurut asalnya adalah fardhu kifayah. Apabila
dalam suatu daerah hanya ada seorang mufti yang dapat ditanyai tentang suatu
masalah hukum yang sudah terjadi dan akan luput seandainya ia tidak segera
berfatwa, maka hukum berfatwa adalah fardhu ain.
E. Tinjauan
Umum Tentang Sertifikasi Halal
Sertifikasi halal merupakan jaminan keamanan bagi seorang konsumen
muslim untuk dapat memilih makanan yang baik baginya dan sesuai dengan aturan
agama. Produk makanan yang memiliki sertifikat halal adalah produk yang didalam
proses pengolahannya memenuhi standar dalam keamanan dan kebersihannya.
Menurut Keputusan Menteri Agama R.I. nomer 518 menyatakan bahwa sertifikasi
halal adalah fatwa tertulis yang menyatakan kehalalan suatu produk pangan yang
dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, 13 Obat-Obatan dan Kosmetika
Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Sertifikasi halal di Indonesia dikeluarkan
resmi oleh MUI yang mengindikasikan bahwa produk sudah lolos tes uji halal.
Produk yang memiliki sertifiksi halal adalah produk yang telah teruji dalam
kehalalan dan bisa dikonsumsi umat muslim. Produk yang telah memiliki
sertifikasi halal dibuktikan dengan pencantuman logo halal dalam kemasan produk.
Tahun 2001 Departemen Agama juga
mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman
dan Tatacara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. SK Nomor 519 Tahun 2001
tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal, yaitu adalah MUI melalui
Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (selanjutnya disebut LPPOM)
dan SK Nomor 525 Tahun 2001 tentang Penunjukan Peruri sebagai Pelaksana
Pencetak Label Halal.
BAB III
TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL
A. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH).
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Untuk menjamin setiap
pemeluk agama beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban
memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan Produk yang dikonsumsi dan
digunakan masyarakat. Jaminan mengenai Produk Halal hendaknya dilakukan sesuai
dengan asas pelindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan
transparansi, efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas.
Oleh
karena itu, jaminan penyelenggaraan Produk Halal bertujuan memberikan
kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi
masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai
tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.
Tujuan tersebut menjadi penting mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang pangan, obat-obatan, dan kosmetik berkembang sangat pesat.
Hal itu berpengaruh secara nyata pada pergeseran pengolahan dan pemanfaatan
bahan baku untuk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, serta Produk lainnya
dari yang semula bersifat sederhana dan alamiah menjadi pengolahan dan
pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu pengetahuan. Pengolahan produk
dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan
percampuran antara yang halal dan yang haram baik disengaja maupun tidak
disengaja.
Oleh
karena itu, untuk mengetahui kehalalan dan kesucian suatu Produk, diperlukan
suatu kajian khusus yang membutuhkan pengetahuan multidisiplin, seperti
pengetahuan di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi,
farmasi, dan pemahaman tentang syariat. Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya
banyak Produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya.
Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan
dengan pengaturan Produk Halal belum memberikan kepastian dan jaminan hukum
bagi masyarakat muslim.
Oleh
karena itu, pengaturan mengenai JPH perlu diatur dalam satu undang-undang yang
secara komprehensif mencakup Produk yang meliputi barang dan/atau jasa yang
terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produkbiologi,
dan produk rekayasa genetik serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau
dimanfaatkan oleh masyarakat. Pokok-pokok pengaturan dalam Undang-Undang ini
antara lain adalah sebagai berikut.
a. Untuk
menjamin ketersediaan Produk Halal, ditetapkan bahan produk yang dinyatakan
halal, baik bahan yang berasal dari bahan baku hewan, tumbuhan, mikroba, maupun
bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawai, proses biologi, atau proses
rekayasa genetik. Di samping itu, ditentukan pula PPH yang merupakan rangkaian
kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk yang mencakup penyediaan bahan,
pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian
Produk.
b. Undang-Undang
ini mengatur hak dan kewajiban Pelaku Usaha dengan memberikan pengecualian
terhadap Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari
Bahan yang diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan
tidak halal pada kemasan Produk atau pada bagian tertentu dari Produk yang
mudah dilihat, dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Produk.
c. Dalam
rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah bertanggung jawab dalam
menyelenggarakan JPH yang pelaksanaannya dilakukan oleh BPJPH. Dalam
menjalankan wewenangnya, BPJH bekerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga
terkait, MUI, dan LPH.
d. Tata
cara memperoleh Sertifikat Halal diawali dengan pengajuan permohonan Sertifikat
Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan
kelengkapan dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan
oleh LPH. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi dari BPJH yang bekerjasama
dengan MUI. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa
halal MUI dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang ditandatangani
oleh MUI. BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal berdasarkan keputusan Penetapan
Halal Produk dari MUI tersebut.
e. Biaya
sertifikasi halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan
Sertifikat Halal. Dalam rangka memperlancar pelaksanaan penyelenggaraan JPH,
UndangUndang ini memberikan peran bagi pihak lain seperti Pemerintah melalui
anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah daerah melalui anggaran
pendapatan dan belanja daerah, perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan,
asosiasi, dan komunitas untuk memfasilitasi biaya sertifikasi halal bagi pelaku
usaha mikro dan kecil.
f. Dalam
rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan JPH, BPJPH melakukan pengawasan
terhadap LPH; masa berlaku Sertifikat Halal; kehalalan Produk; pencantuman
Label Halal; pencantuman keterangan tidak halal; pemisahan lokasi, tempat dan
alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta
penyajian antara Produk Halal dan tidak halal; keberadaan Penyelia Halal;
dan/atau kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.
g. Untuk
menjamin penegakan hukum terhadap pelanggaran Undang-Undang ini, ditetapkan
sanksi administratif dan sanksi pidana.
Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) diresmikan oleh Menteri Agama pada
tanggal 11/10/2017. Pendirian BPJPH merupakan amanat undang-undang yang
menyatakan bahwa lembaga tersebut harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun
setelah UU-JPH diundangkan (lihat Pasal 64). Meski pembentukan BPJPH tergolong
lambat, akan tetapi tindakan tersebut layak untuk diapreasi.
BPJPH
adalah badan pemerintah yang ditugaskan untuk menyelenggarakan jaminan produk
halal. Keberadaannya berada di bawah Menteri Agama dan bertanggungjawab kepada
menteri juga. Menurut Pasal 6 UU-JPH, kewenangan BPJPH dalam menyelenggarakan
jaminan produk halal mencakup:
a. Merumuskan
dan menetapkan kebijakan JPH;
b. menetapkan
norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;
c. menerbitkan
dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk;
d. melakukan
registrasi Sertifikat Halal pada produk luar negeri;
e. melakukan
sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal;
f. melakukan
akreditasi terhadap LPH;
g. melakukan
registrasi Auditor Halal;
h. melakukan
pengawasan terhadap JPH;
i. melakukan
pembinaan Auditor Halal; dan
j. melakukan
kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.
Berdasarkan
kewenangan atributif di atas, saat ini BPJPH merupakan satu-satunya lembaga
yang berwenang untuk menyelenggarakan sertifikasi produk halal di Indonesia.
Dengan demikian maka proses sertifikasi produk halal tidak lagi berada di bawah
kewenangan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majellis Ulama
Indonesia (LPPOM MUI).
Meski
demikian, sesuai dengan UU-JPH, MUI tetap mempunyai peran strategis dalam
proses sertifikasi produk halal. Hal ini menunjukkan bahwa BPJPH dapat
melakukan kerjasama dengan MUI terkait proses sertifikasi auditor halal,
akreditasi Lembaga Penjamin Halal (LPH) dan penetapan kehalalan produk dalam
bentuk fatwa.
Dengan
diundangkannya BPJPH, diharapkan pengurusan proses penyelenggaraan jaminan
halal menjadi semakin lebih baik dari sebelumnya. Dari segi kelembagaan dan
legalitas tentunya keberadaan BPJPH menjadi jelas karena telah diatur dalam
undang-undang. Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dengan
diresmikannya BPJPH maka diharapkan Indonesia bisa masuk 10 besar
produsen halal dunia versi Global Islamic Economy Indicator 2017.
Mengingat
potensi industri halal di Indonesia sangat besar, maka target yang ditetapkan
oleh menteri agama menjadi beralasan. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan
pelayanan sertifikasi dan pengawasan terhadap produk halal maka diharapkan BPJH
dapat beroperasi secara profesionalisme, berintegritas dan transparansi,
sehingga terhindar dari pungutan liar dan gratifikasi.
Indonesia
sebagai negara dengan mayoritas Muslim, maka tentunya kebutuhan akan
sertifikasi halal atas suatu produk menjadi tinggi, karena dalam perspektif
Islam, selain halal makanan juga harus baik (thoyyib). Sebelum dikeluarkannya
UU-JPH penyelenggaraan sertifikasi produk halal hanya bersifat voluntary
(sukarela), namun demikian setelah diundangkannya UU-JPH, penyelengggaraan
sertifikasi halal bersifat mandatory (wajib). Oleh sebab itu, para pelaku usaha
memiliki kewajiban untuk mendaftar ke BPJPH agar produknya bisa disertifikasi
kehalalannya.
Dalam
kaitannya lembaga yang berwenang melakukan sertifikasi halal, BPJPH harus
melakukan sosialisasi terus menerus kepada masyarakat akan pentingnya
sertifikasi produk halal, karena bisa saja kesadaran masyarakat masih kurang
akan hal ini. Selain itu, pemerintah juga harus mendukung sepenuhnya keberadaan
BPJPH ini, sehingga bisa berjalan dan melakukan tugasnya dengan maksimal.
Salah satu
negara yang berhasil menerapkan sertifikasi halal adalah Malaysia. Keberhasilan
Malaysia dalam menerapkan sertifikasi halal ini patut ditiru Indonesia.
Keberhasilan Malaysia dalam menerapkan sertifikasi halal tentunya mendapat
dukungan penuh dari pemerintahnya, sehingga membawa Malaysia menjadi pemain
utama produk halal di dunia saat ini.
Oleh sebab
itu, Peraturan Pelaksana UU-JPH harus segera dikeluarkan agar BPJPH bisa segera
menjalankan tugasnya dengan maksimal. Di masa datang diharapkan dengan
hadirnya BPJPH, Indonesia tidak lagi menjadi konsumen produk halal dari negara
luar, namun menjadi produsen utama produk halal di dunia.
B. Asas
dan Tujuan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
1. Penyelenggara
Jaminan Produk Halal berasaskan:
a. Pelindungan
Yang
dimaksud dengan asas “pelindungan” adalah bahwa dalam menyelenggarakan JPH
bertujuan melindungi masyarakat muslim.
b. Keadilan;
Yang
dimaksud dengan asas “keadilan” adalah bahwa dalam penyelenggaraan JPH harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
c. Kepastian
hukum;
Yang
dimaksud dengan asas “kepastian hukum” adalah bahwa penyelenggaraan JPH
bertujuan memberikan kepastian hukum mengenai kehalalan suatu Produk yang
dibuktikan dengan Sertifikat Halal.
d. Akuntabilitas
dan transparansi;
Yang
dimaksud dengan asas “akuntabilitas dan transparansi” adalah bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan JPH harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
e. Efektivitas
dan efisiensi;
Yang
dimaksud dengan asas “efektivitas dan efisiensi” adalah bahwa penyelenggaraan
JPH dilakukan dengan berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna
serta meminimalisasi penggunaan sumber daya yang dilakukan dengan cara cepat,
sederhana, dan biaya ringan atau terjangkau.
f. Profesionalitas
Yang
dimaksud dengan asas “profesionalitas” adalah bahwa penyelenggaraan JPH
dilakukan dengan mengutamakan keahlian yang berdasarkan kompetensi dan kode
etik.
2. Penyelenggara
Jaminan Produk Halal Bertujuan
Penyelenggara
Jaminan Produk Halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan,
keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam
mengonsumsi dan menggunakan Produk; dan Meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku
Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.
Kerja Sama
Majelis Ulama Indonesia dan Kementerian/Lembaga mempunyai tugas melakukan
penyiapan bahan perumusan, koordinasi, dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan
norma, standar, prosedur, kriteria, bimbingan teknis dan supervisi, evaluasi,
serta laporan kerja sama jaminan produk halal dengan Majelis Ulama Indonesia
dan Kementerian/Lembaga.
Regulasi
yang dilakukan pemerintah menuju ke arah unifikasi perundang-undangan atau setidaknya upaya
sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
produksi yang harus tersertifikasi “halal”. Dan regulasi ini termasuk ranah
kebijakan hukum – politik hukum. Hal demikian meniscayakan terbangunya suatu
sistem jaminan produk halal (selanjutnya ditulis JPH).
Bahwa
keberadaan kebijakan – politik hukum – terhadap produk yang digunakan dan
dikonsumsi oleh masyarakat harus bersertifikat halal, tentu dikategorikan
sebagai “hal kontemporer” dalam arti memang tidak pernah ada di jaman
Rasulullah SAW. Oleh karenannya, jaminan produk halal dan thayyib merupakan
sesuatu yang bersifat ijtihadi. Konstruksi ijtihadi – jaminan produk halal dan
thayyib dalam bentuk sertifikasi halal meniscayakan terbangunnya paradigma
teoritik, yaitu teori Istislah – maslahah mursalah. Istislah atau maslahah
mursalah, adalah manfaat-manfaat yang seirama dengan tujuan Allah (pembuat
hukum), akan tetapi tidak terdapat dalil khusus dalam al-Qur’an dan al Sunnah
yang menjelaskan bahwa manfaat tersebut diakui atau tidak diakui oleh Allah
SWT. Dengan mengaitkan hukum dengan manfaat tersebut, maka akan dapat
diwujudkan kemaslahatan bagi manusia atau akan dapat dihindarkan keburukan –
madharat - dari manusia. Sebagai ikhtiar dan implementasi atas langkah
strategis melindungi umat dari serbuan pelbagai peredaran produk pangan yang
mengandung bahanbahan non halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendirikan
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) melalui SK No.
018/ MUI/I/1989 tertanggal 6 Januari 1989/26 Jumadil Awal 1409 H, lembaga ini
beranggotakan unsur ulama dan ilmuwan yang berkompeten dan sejumlah ahli bidang
pangan, kimia, biokimia, fikih Islam dan lainlain.
LPPOM MUI
semula dimaksudkan sebagai respon atas peredaran bahan pangan tertentu yang
berasal dari babi. Isu “lemak babi” ini menyulut gelombang protes yang cukup
besar dari kalangan umat Islam. Di sisi produsen, berdampak omzet penjualan
produk bersangkutan kontan anjlok drastis.29 Maka LPPOM- MUI didirikan agar
dapat memberikan rasa tentram dan ketenangan batin pada umat tentang produk
yang dikonsumsinya.30 Tahun 1994 LPPOM MUI mengawali kiprah menggagas
sertifikasi halal terhadap pangan yang beredar di pasaran mulai dilakukan.
Proses sertifikasi dilakukan sendiri oleh MUI. Sementara izin label halal pada
kemasan pangan diberikan oleh Departemen Kesehatan (Depkes) c.q. Badan
Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
Model
semacam ini menyebabkan terjadinya dualisme dalam pengurusan sertifikat dan
label halal. Sehingga produk yang sudah mendapatkan sertifikat halal dari MUI
masih harus diperiksa lagi oleh BPOM guna mendapatkan izin penggunaan logo
halal. Untuk memangkas prosedur birokrasi, 21 Juni 1996 melalui piagam kerja
sama antara Departemen Kesehatan, Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia
akhirnya disepakati bahwa pencantuman label halal pada produk pangan akan
ditangani bersama oleh tiga instansi tersebut.31 Dalam pelaksanaannya
sertifikat halal dikeluarkan oleh MUI berdasarkan audit tim gabungan tiga
instansi tersebut. Dengan sertifikat halal MUI tersebut perusahaan bisa langsung
mendapatkan izin pencantuman label halal dari BPOM (Badan Pengawasan Obat dan
Makanan).
Sehingga
tidak ada lagi dualisme dalam kepengurusan halal. BPOM telah menyerahkan
sepenuhnya sertifikasi halal ini kepada Komisi Fatwa MUI. Pemberian atau
penolakan sertifikat halal sepenuhnya berada di MUI. Berdasarkan fatwa MUI ini,
BPOM akan memberi persetujuan pencantuman label halal bagi yang memperoleh
sertifikat halal, atau memberi penolakan bagi yang tidak mengantongi sertifikat
halal. Hal ini, memberikan kepastian bagi konsumen dalam mengonsumsi produk
makanan.
Sertifikasi
Halal dalam Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UUJPH) Doktrin halâlan
thayyiban (halal dan baik) sangat perlu untuk diinformasikan dan diformulasikan
secara efektif dan operasional kepada masyarakat disertai dengan tercukupinya
sarana dan prasarana. Salah satu sarana penting untuk mengawal doktrin halâlan
thayyiban adalah dengan hadirnya pranata hukum yang mapan, sentral, humanis,
progresif, akamodatif dan tidak diskriminatif yakni dengan hadirnya
Undang Undang Nomor 33 Tentang Jaminan Produk Halal (UUJPH).
Beberapa
faktor yang mendasari pentingnya UUJPH antara lain, pertama pelbagai peraturan
perundang-undangan yang telah ada yang mengatur atau yang berkaitan dengan
produk halal belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum bagi konsumen
untuk dapat mengonsumsi produk halal.
Sehingga
masyarakat mengalami kesulitan dalam membedakan antara produk yang halal dan
haram. Selain itu pengaturan produknya masih sangat terbatas hanya soal pangan
belum mencakup obat-obatan, kosmetik, produk kimia biologis dan rekayasa
genetik.
Kedua, tidak
ada kepastian hukum kepada institusi mana keterlibatan negara secara jelas di
dalam jaminan produk halal. Sistem yang ada belum secara jelas memberikan
kepastian wewenang, tugas dan fungsi dalam kaitan implementasi JPH, termasuk
koordinasinya. Ketiga, peredaran dan produk di pasar domestik makin sulit
dikontrol akibat meningkatnya teknologi pangan, rekayasa teknologi,
bioteknologi dan proses kimia biologis.
Tujuan
dari UU JPH adalah untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan
menjalankan ajaran agamanya, memberikan pelindungan dan jaminan tentang
kehalalan Produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat sesuai dengan asas
pelindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi,
efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. Selain itu, penyelenggaraan
sistem produk halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan
kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan
menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi
dan menjual Produk Halal.
BAB IV
PERANAN FATWA MUI
DALAM PENYELENGGARAAN LABEL PRODUK HALAL
A. Babak Baru
Sertifikasi Jaminan Produk Halal
Terbentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) akan
menyempurnakan proses sertifikasi produk halal yang selama ini dilakukan
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam hal ini, BPJPH akan menerbitkan
sertifikasi halal setelah mendapatkan fatwa dari MUI.
Peranan MUI tetap ada, dan sangat penting dalam proses sertifikasi
halal. "BPJPH merupakan badan yang berfungsi sebagai
"regulator"/pengatur dalam proses sertifikasi halal, peranan
BPJPH dan MUI dalam Proses Sertifikasi Halal Sesuai dengan UU no 33 tahun 2014
tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Dalam UU no. 33/2014 tentang JPH yang disahkan
pada tanggal 17 Oktober 2014 oleh Presiden SBY tersebut memberikan payung hukum
terhadap proses sertifikasi halal. Selama ini proses sertifikasi halal
dilakukan oleh LPPOM-MUI, sebagai sebuah lembaga non-pemerintah. Dengan
berlakunya UU no. 33/2014 ini, peranan LPPOM-MUI menjadi LPH (Lembaga Pemeriksa
Halal).
UU no. 33/2014 tentang JPH mengatur proses sertifikasi sebagai
berikut. Pertama, pemohon mengajukan permohonan sertifikasi ke Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), sebuah badan di bawah Kemenag.
Kedua, BPJPH mengarahkan permohonan tersebut ke Lembaga Pemeriksa
Halal (LPH), untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk
(Pasal 30). Ketiga, LPH boleh dibentuk oleh Pemerintah dan masyarakat - yang
diajukan oleh lembaga keagamaan Islam berbadan hukum (Pasal 12 dan 13).
Selanjutnya, hasil pemeriksaan/audit oleh LPH diserahkan ke BPJPH
untuk diverifikasi. Jika ada keraguan terhadap hasil uji lab, lanjut Ikhsan,
maka BPJPH akan melakukan "second opinion" dengan mengundang lab uji
lainnya untuk memperjelas hasil.
Kemudian BPJPH akan mengajukan hasil audit tersebut ke MUI untuk
dimintakan fatwa untuk memperoleh penetapan kehalalan produk (Pasal 32). .BPJPH
menerbitkan sertifikat halal setelah fatwa MUI menyetujuinya (Pasal 33).
Peranan UU no. 33/2014 tentang JPH menjamin terpenuhinya hak-hak konsumen untuk
memperoleh produk yang halal dan baik. "Karena itu Sertifikasi halal
menjadi wajib sifatnya.
B. Wewenang MUI
pada Proses Sertifikasi Jaminan Produk Halal
UU
mewajibkan seluruh produk yang diproduksi dan diedarkan di NKRI bersertfkat
halal. Karenanya, negara menjamin proses produksi halal. BPJPH sebagai lembaga
yang diberi mandat untuk penyelenggaraan jaminan produk halal. Penetapan
kehalalan produk tetap di MUI.
Sementara
dikutip dari laman Kemenag, seperti disampaikan Menag Lukman Hakim, Lembaga
Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI walau sudah ada BPJPH,
tetap mempunyai 3 kewenangan, yakni:
1. Mengeluarkan
fatwa kehalalan suatu produk, sebelum BPJPH mengeluarkan label halal, terlebih
dahulu harus mendapatkan fatwa kehalalan dari MUI. Artinya, fatwa halal tetap
menjadi domain MUI.
2. Melakukan
sertifikasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal, Menjadi kewenangan dan keputusan
MUI, apakah sebuah lembaga lolos sebagai Lembaga Pemeriksa Halal atau tidak.
3. Auditor-auditor
yang bergerak dalam industri halal harus mendapatkan persetujuan
Majelis Ulama Indonesia.
Sementara
BPJPH bertugas menerbitkan sertifikat halal, setelah mendapat fatwa dari MUI,
Dalam rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah bertanggung jawab dalam
menyelenggarakan JPH yang pelaksanaannya dilakukan oleh BPJPH. Dalam
menjalankan wewenangnya, BPJH bekerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga
terkait, MUI, dan LPH.
Tata cara
memperoleh Sertifikat Halal diawali dengan pengajuan permohonan Sertifikat
Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan
kelengkapan dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan
oleh LPH. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi dari BPJH yang bekerjasama
dengan MUI. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa
halal MUI dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang ditandatangani
oleh MUI. BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal berdasarkan keputusan Penetapan
Halal Produk dari MUI tersebut.
Dalam
rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan JPH, BPJPH melakukan pengawasan
terhadap LPH; masa berlaku Sertifikat Halal; kehalalan Produk; pencantuman
Label Halal; pencantuman keterangan tidak halal; pemisahan lokasi, tempat dan
alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta
penyajian antara Produk Halal dan tidak halal; keberadaan Penyelia Halal;
dan/atau kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penulisan mengenai “Analisis
peran fatwa MUI dalam penyelenggaraan label halal berdasarkan
Undang-Undang No.33 tahun 2014” yang
dilakukan secara perspektif dengan memberikan argumentasi serta gagasan atas
penilaian peran fatwa MUI dalam penyelenggaraan label halal berdasarkan
Undang-Undang No.33 tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
Berdasarkan pembahasan diatas penulis menyimpulkan
agar Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama
Indonesia (LPPOM MUI) dan
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal dapat bersinergi dalam upaya menjamin
kepastian hukum serta mengikuti regulasi yang dilakukan
pemerintah agar adanya upaya
sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
produksi yang harus tersertifikasi halal terhadap produk yang digunakan dan
dikonsumsi oleh masyarakat harus bersertifikat halal.
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI
walau sudah ada BPJPH, tetap mempunyai 3 kewenangan, yakni:
a. Mengeluarkan
fatwa kehalalan suatu produk, sebelum BPJPH mengeluarkan label halal, terlebih
dahulu harus mendapatkan fatwa kehalalan dari MUI. Artinya, fatwa halal tetap
menjadi domain MUI.
b. Melakukan
sertifikasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal, Menjadi kewenangan dan keputusan
MUI, apakah sebuah lembaga lolos sebagai Lembaga Pemeriksa Halal atau tidak,
c. Auditor-auditor
yang bergerak dalam industri halal harus mendapatkan persetujuan
Majelis Ulama Indonesia.
B. Saran
Dengan
beberapa uraian diatas, maka selanjutnya penulis memberikan saran-saran untuk
meningkatkan dan mengembangkan pelaksanaan sertifikasi jaminan prodak
halal dengan mengharapkan pemerintah agar tetap mendengar aspirasi masyarakat,
dan peranan pemerintah dalam mengambil alih sertifikasi jaminan produk halal di
harapkan untuk tetap menjaga kepercayaan masyarakat, terutama dalam melibatkan
MUI dalam proses sertifikasi Jaminan Produk Halal.
1. BPJPH
perlu menata organisasi, tata kerja dan sumber daya manusia.
2. BPJPH
perlu segera bersinergi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga
fatwa dan juga lembaga yang selama ini melakukan tugas sertifikasi halal.
3. BPJPH perlu menetapkan
standar dan prosedur-prosedur yang profesional. Sebagai dasar untuk penetapan
fatwa halal oleh MUI sebagai bagian dari BPJPH.
4. Perlu
adanya kepastian protap dan prosedurnya benar-benar profesional
sehingga masyarakat dapat yakin.
5. Sosialisasi tentang BPJPH.
Sosialisasi diharapkan lebih kuat dibandingkan dulu ketika masih ditangani
hanya oleh MUI. Agar masyarakat dan dunia usaha paham. Soal makanan dan
minuman, obat dan kosmetik secara bertahap diprioritaskan BPJPH.
Pada
intinya penulis sangat berharap trobosan Jaminan Produk Halal dapat
membangun bangsa, serta BPJPH dapat menjaga transparansi dan akuntabilitas
dari lembaga tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
·
Undang-Undang No.33 tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
·
Surat Keputusan Menteri
Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tatacara Pemeriksaan dan
Penetapan Pangan Halal. SK Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana
Pemeriksaan Pangan Halal.
·
Khalid Mazian,
Kassim Thukiman, dan Mohd Zubil Bahak, Maslahah Dalam Pandangan Hukum Syarak.
·
Lada et al, 2000
·
www.halalmui.org
0 Komentar: